Oscar Lawalata: Berdayakan Pengrajin Tenun Indonesia

0 comments


Oscar Septianus Lawalata atau lebih dikenal dengan Oscar Lawalata lahir di Pekanbaru, Riau, 1 September 1977. Dia adalah anak pertama dari pasangan Ragnild Antoinette (lebih dikenal sebagai Reggy Lawalata) dan Alexander Polii. Saudara laki- lakinya, Mario Lawalata, dikenal sebagai pemain sinetron terkenal.
Berbekal bakat menggambar yang dimilikinya, Oscar mulai meniti mimpinya dengan bersekolah di Esmod, Jakarta. Program yang seharusnya tiga tahun, hanya dijalani separuhnya saja. Oscar berhenti sekolah saat terjadi krisis moneter pada tahun 1998. Uang yang sedianya untuk biaya sekolah di Esmod, digunakannya untuk membuka usaha sendiri. Meskipun belum menyelesaikan studinya jiwa wirausaha itu begitu kuat. Berawal dari persahabatannya dengan seorang model, Novie yang dikenalnya mengikuti lomba model di majalah remaja dulu ketika SMA. Bersamanya yang sudah dianggap sebagai kakak, Oscar memasuki dunia fasion dan mode di Indonesia.
Pada tahun 1999, Oscar mengikuti lomba desain di Singapura dimana menjadi ciri khasnya sekarang. Dia, kala itu, membuat rancangan yang terinspirasi dari baju Bodo, khas Sulawesi Selatan. Ia mengaku memang menyukai keindahan dan keunikan kultur Indonesia. Dia sukses membawa budaya dari Indonesia ke pentas dunia. Berkat rancangan yang unik membawanya menjadi pemenang ajang di Singapura. Oscar meraih juara kedua ASEAN Young Designer Contest, Singapura. Namanya kian melejit dan profil dirinya ditulis berbagai media cetak seperti Kompas.
Oscar juga berkonsentrasi pada pengembangan nasional tenun tekstil sebagai warisan budaya Indonesia, yang sekarang dikerjakannya sebagai koleksi dari labelnya Oscar Lawalata Couture. Oscar melakukan penelitian selama 10 tahun mengenai kain tenun Timor. Oscar menjalin kerjasama dengan para pengrajin tenun tradisional yang ada di berbagai daerah Indonesia. Para penghajin tenun yang biasanya mendapatkan bayaran yang kecil atas karya yang mereka buat. Melalui Oscar Lawalata, karya mereka bisa sampai ke dunia Internasional dengan bayaran yang sepadan.
Pada Februari 2009, Oscar meraih penghargaan International Young Creative Entrepreneur (IYCY) yang digelar British Council, dan berhak atas hadiah uang sebesar 7.500 Pounsterling. Kompetisi internasional yang digelar sejak tahun 2005 itu diikuti 115 perancang dari 47 negara di Asia, Afrika, Eropa Tengah, Timur Tengah dan Amerika Latin. Dalam ajang itu, ia berhasil menyingkirkan perancang dari Brazil, India, Polandia, Arab Saudi, Srilangka, Thailand, Tunia dan Vietnam. "Saya merasa senang bercampur sedih, haru, dan merupakan suatu kehomatan bagi dunia mode di Indonesia," ujar Oscar seperti dikutip dari situs surya.co.id.

By: Anis Soraya

Sumber : surya.co.idtokohindonesia.com, businessweek.com

gambar: http://www.indonesianfilmcenter.com/cc/oscar-septianus-lawalata.html

PENDAMPINGAN SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT

0 comments


Makalah disajikan pada Pelatihan Pengembangan Masyarakat Bagi Pengurus Forum Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Tingkat Propinsi se Indonesia, Pusdiklat Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat Depsos RI, Jl. Dewi Sartika No. 200, Jakarta, Rabu 28 Agustus 2002. 

Oleh Edi Suharto

Pengembangan Masyarakat (PM) adalah proses membantu orang-orang biasa agar dapat memperbaiki masyarakatnya melalui tindakan-tindakan kolektif (Twelvetrees, 1991:1). Secara akademis, PM dikenal sebagai salah satu metode pekerjaan sosial yang tujuan utamanya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada prinsip partisipasi sosial (Suharto, 1997:292). Menurut Johnson (1984), PM merupakan spesialisasi atau setting praktek pekerjaan sosial yang bersifat makro (macro practice). 

PM secara umum meliputi perencanaan, pengkoordinasian dan pengembangan berbagai aktivitas pembuatan program atau proyek kemasyarakatan. Sebagai suatu kegiatan kolektif, PM melibatkan beberapa aktor, seperti Pekerja Sosial, masyarakat setempat, lembaga donor serta instansi terkait, yang saling berkerjasama mulai dari perancangan, pelaksanaan, sampai evaluasi terhadap program atau proyek tersebut (Suharto, 1997: 292-293).

Konsultasi Pemecahan Masalah
Konsultasi pemecahan masalah tidak hanya dilakukan dengan profesi lain (dokter, guru), melainkan dengan sistem klien lainnya. Konsultasi tidak pula hanya berupa pemberian dan penerimaan saran-saran, melainkan merupakan proses yang ditujukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai pilihan-pilihan dan mengidentifikasi prosedur-prosedur bagi tindakan-tindakan yang diperlukan. Pekerja sosial membagi secara formal pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya, sedangkan klien membagi pengalaman personal, organisasi atau kemasyarakatan yang pernah diperoleh semasa hidupnya. Dalam proses pemecahan masalah, pendampingan sosial dapat dilakukan melalui serangkaian tahapan yang biasa dilakukan dalam praktek pekerjaan sosial pada umumnya, yaitu: pemahaman kebutuhan, perencanaan dan penyeleksian program, penerapan program, evaluasi dan pengakhiran. 

PERANAN PEKERJA SOSIAL: MODEL DAN STRATEGI

Paradigma generalis dapat memberi petunjuk mengenai fungsi kegiatan-kegiatan pembimbingan sosial serta menunjukkan peranan-peranan dan strategi-strategi sesuai dengan fungsi tersebut. Mengacu pada Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994), ada beberapa peran pekerjaan sosial dalam pembimbingan sosial. Lima peran di bawah ini sangat relevan diketahui oleh para pekerja sosial yang akan melakukan pembimbingan sosial.

Fasilitator 

Dalam literatur pekerjaan sosial, peranan “fasilitator” sering disebut sebagai “pemungkin” (enabler). Keduanya bahkan sering dipertukarkan satu-sama lain. Seperti dinyatakan Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994:188), “The traditional role of enabler in social work implies education, facilitation, and promotion of interaction and action.” Selanjutnya Barker (1987) memberi definisi pemungkin atau fasilitator sebagai tanggungjawab untuk membantu klien menjadi mampu menangani tekanan situasional atau transisional. 

Strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan tersebut meliputi: pemberian harapan, pengurangan penolakan dan ambivalensi, pengakuan dan pengaturan perasaan-perasaan, pengidentifikasian dan pendorongan kekuatan-kekuatan personal dan asset-asset sosial, pemilahan masalah menjadi beberapa bagian sehingga lebih mudah dipecahkan, dan pemeliharaan sebuah fokus pada tujuan dan cara-cara pencapaiannya (Barker, 1987:49).

Broker
Dalam pengertian umum, seorang broker membeli dan menjual saham dan surat berharga lainnya di pasar modal. Seorang beroker berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dari transaksi tersebut sehingga klien dapat memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Pada saat klien menyewa seorang broker, klien meyakini bahwa broker tersebut memiliki pengetahuan mengenai pasar modal, pengetahuan yang diperoleh terutama berdasarkan pengalamannya sehari-hari. Dalam proses pendampingan sosial, ada dua pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki pekerja sosial:

·     Pengetahuan dan keterampilan melakukan asesmen kebutuhan masyarakat (community needs assessment), yang meliputi: (a) jenis dan tipe kebutuhan, (b) distribusi kebutuhan, (c) kebutuhan akan pelayanan, (d) pola-pola penggunaan pelayanan, dan (e) hambatan-hambatan dalam menjangkau pelayanan (lihat makalah penulis mengenai metode dan teknik pemetaan sosial untuk mengetahu cara-cara mengidentifikasi masalah dan kebutuhan masyarakat).
·     Pengetahuan dan keterampilan membangun konsorsium dan jaringan antar organisasi. Kegiatan ini bertujuan untuk: (a) memperjelas kebijakan-kebijakan setiap lembaga, (b) mendefinisikan peranan lembaga-lembaga, (c) mendefinisikan potensi dan hambatan setiap lembaga, (d) memilih metode guna menentukan partisipasi setiap lembaga dalam memecahkan masalah sosial masyarakat, (e) mengembangkan prosedur guna menghindari duplikasi pelayanan, dan (f) mengembangkan prosedur guna mengidentifikasi dan memenuhi kekurangan pelayanan sosial. 

Mediator
Pekerja sosial sering melakukan peran mediator dalam berbagai kegiatan pertolongannya. Peran ini sangat penting dalam paradigma generalis. Peran mediator diperlukan terutama pada saat terdapat perbedaan yang mencolok dan mengarah pada konflik antara berbagai pihak. Lee dan Swenson (1986) memberikan contoh bahwa pekerja sosial dapat memerankan sebagai “fungsi kekuatan ketiga” untuk menjembatani antara anggota kelompok dan sistem lingkungan yang menghambatnya. 

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam melakukan peran mediator meliputi kontrak perilaku, negosiasi, pendamai pihak ketiga, serta berbagai macam resolusi konflik. Dalam mediasi, upaya-upaya yang dilakukan pada hakekatnya diarahkan untuk mencapai “solusi menang-menang” (win-win solution). Hal ini berbeda dengan peran sebagai pembela dimana bantuan pekerja sosial diarahkan untuk memenangkan kasus klien atau membantu klien memenangkan dirinya sendiri. 
  
Pembela
Dalam praktek PM, seringkali pekerja sosial harus berhadapan sistem politik dalam rangka menjamin kebutuhan dan sumber yang diperlukan oleh klien atau dalam melaksanakan tujuan-tujuan pendampingan sosial. Manakala pelayanan dan sumber-sumber sulit dijangkau oleh klien, pekeja sosial haru memainkan peranan sebagai pembela (advokat). Peran pembelaan atau advokasi merupakan salah satu praktek pekerjaan sosial yang bersentuhan dengan kegiatan politik. 

Peran pembelaan dapat dibagi dua: advokasi kasus (case advocacy) dan advokasi kausal (cause advocacy) (DuBois dan Miley, 1992; Parsons, Jorgensen dan Hernandez, 1994). Apabila pekerja sosial melakukan pembelaan atas nama seorang klien secara individual, maka ia berperan sebagai pembela kasus. Pembelaan kausal terjadi manakala klien yang dibela pekerja sosial bukanlah individu melainkan sekelompok anggota masyarakat. 

Pelindung
Tanggungjawab pekerja sosial terhadap masyarakat didukung oleh hukum. Hukum tersebut memberikan legitimasi kepada pekerja sosial untuk menjadi pelindung (protector) terhadap orang-orang yang lemah dan rentan. Dalam melakukan peran sebagai pelindung (guardian role), pekerja sosial bertindak berdasarkan kepentingan korban, calon korban, dan populasi yang berisiko lainnya. Peranan sebagai pelindung mencakup penerapan berbagai kemampuan yang menyangkut: (a) kekuasaan, (b) pengaruh, (c) otoritas, dan (d) pengawasan sosial. 

By: Danis Dea Rizky

Pengembangan Metode Pembelajaran Pendidikan Karakter Melalui Kewirausahaan Sosial (Sociopreneurship)

0 comments

Penny Rahmawaty, Dyna Herlina Suwarto, M.Lies Endarwati
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta

PENDAHULUAN
Perkembangan dunia yang semakin mengglobal mengakibatkan begitu mudahnya nilai-nilai asing masuk ke dalam budaya dan kehidupan Bangsa Indonesia. Untuk menjaga dan memperkuat jati diri bangsa dibutuhkan suatu kemauan, tekad dan komitmen yang kuat dari seluruh elemen masyarakat agar identitas dan kepribadian bangsa tidak luntur dilekang jaman tetapi tetap kuat, kokoh dan tak tergoyahkan. Generasi muda diharapkan dapat membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat, kokoh dan mandiri yang diperhitungkan dalam kancah kehidupan dunia internasional. Kesiapan mahasiswa sebagai generasi muda dalam memecahkan persoalan bangsa ini harus didukung oleh sistem pembelajaran yang ada. Selama ini penyelenggaraan pendidikan lebih menekankan pada penguasaan materi dan melatih kecerdasan intelektual sehingga cenderung bersifat intelektualistik.
Pendidikan saat ini belum mampu membangun interaksi yang paradigmatik antara aspek kehambaan dan kekhalifahan. Akibatnya pendidikan kita kurang bermakna bagi kehidupan manusia yang utuh dan asasi. Pendidikan yang demikian ini cenderung kurang memperhatikan pendidikan karakter. Program pembelajaran dibuat dalam suatu model yang unik yang terintegrasi baik dalam bentuk mata kuliah pendidikan karakter itu sendiri maupun dalam mata kuliah yang ada di masing-masing program studi. Dalam kesempatan ini dikembangkan suatu model pembelajaran pendidikan karakter dalam mata kuliah kewirausahaan khususnya mengenai kewirausahaan sosial.

KAJIAN PUSTAKA
1. Kewirausahaan Sosial
Kewirausahaan sosial adalah kewirausahaan yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat bukan sekadar memaksimalkan keuntungan pribadi. Kewirausahaan sosial biasa disebut 'pengembangan masyarakat' atau “organisasi bertujuan sosial' (Tan, 2005:1).
Beberapa definisi wirausaha sosial yang bisa digunakan untuk memahami aktivitas ini adalah: (S.Dev Appanah & Brooke Estin, 2009 )
a.   Definisi yang dikemukakan oleh J. Gregory Dees, Professor of Sosial Entrepreneurship at Duke University yang mengatakan bahwa wirausaha sosial adalah pelaku reformasi atau revolusi sektor sosial (pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi, lingkungan, seni dan sebagainya). Mereka berusaha mengatasi akar masalah, bukan sekedar menanggulangi ujung masalah dengan cara sistemik dan berkelanjutan dalam bentuk organisasi non profit, hybrid (gabungan antara profit dan non profit), bank rakyat, balai latihan kerja. Inovasi yang diciptakan adalah mengatasi akar masalah, sedangkan misi sosial yang dikembangkan adalah pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi dan lingkungan seni. Model bisnis yang sesuai meliputi bisnis bertujuan sosial, bank rakyat, organisasi hybrid dan balai latihan kerja. Dampak yang dimunculkan dengan wirausaha sosial ini adalah menciptakan nilai sosial /lingkungan, bertindak lokal untuk mengatasi masalah global, skala bisa diperluas, perubahan sistemik, dan pengembangan berkelanjutan. Bentuk organisasi yang sesuai adalah organisasi non profit, bisnis bertujuan sosial dan organisasi hybrid
b.      Bill Drayton, CEO and Chair of Ashoka
Wirausaha sosial adalah individu yang memiliki solusi inovatif untuk mengatasi masalah sosial dengan cara mengubah sistem, memberikan solusi dan memengaruhi masyarakat untuk melakukan perubahan. Awalnya ia bertindak dalam skala lokal kemudian dapat diperluas. Inovasi yang dikembangkan adalah solusi inovatif dan menciptakan kesempatan baru. Misi sosialnya mengatasi masalah sosial yang paling menekan. Dampak dari adanya wirausaha sosial ini adalah perubahan skala luas, mengubah sistem dan menyebar luaskan solusi.

2. Bentuk Wirausaha Sosial
Ada beberapa bentuk wirausaha sosial (Tan, 2005)
a.       Organisasi berbasis komunitas
b.      Socially responsible enterprises
c.       Socio-economic atau dualistic enterprises.

Pendidikan karakter
Pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behavior (Lickona, 1991). Secara praktis, pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga sekolah atau kampus yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia paripurna (insan kamil).
Pembentukan karakter harus disertai dengan pembiasaan-pembiasaan (habituation). Pembiasan dimaksud dapat dilakukan di kampus dengan berbagai cara dan menyangkut banyak hal seperti disiplin waktu, etika berpakaian, etika pergaulan, perlakuan mahasiswa kepada karyawan, dosen, dan pimpinan fakultas, dan sebaliknya. Untuk pembentukan karakter diperlukan pula lingkungan yang sehat dan kondusif.
Nilai-nilai karakter utama yang akan dikembangkan dalam pembelajaran ini adalah: (1) ketaatan beribadah; (2) kejujuran; (3) disiplin dan tanggung jawab, (4) rasa hormat dan peduli serta (5) kerjasama.

Edited by: Danis Dea

(Diakses Tanggal 11 Desember 2014, Pukul 16.00 WIB)



Gigin Mardiansyah: Bangun bisnis dari kesederhanaan ide

0 comments

Ide untuk memulai sebuah usaha, tidaklah selamanya datang dari suatu hal yang besar. Seringkali ide yang sangat sederhana pun, jika dijalankan dengan ketekunan dan kesungguhan, bisa mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Hal itulah yang dialami oleh Gigin Mardiansyah, seorang entrepreneur muda asal Bogor, Jawa Barat, yang menjalankan bisnis aksesoris boneka Horta, atau boneka hortikultura. Bahkan atas pencapaiannya sebagai seorang wirausahawan muda, Gigin pun telah mendapatkan berbagai penghargaan. Salah satunya adalah penghargaan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebagai salah satu Pemuda Andalan Nusantara tahun 2010.
Gigin Mardiansyah
Lulusan Institut Pertanian Bogor itu mengembangkan boneka horta setelah memerhatikan semakin rendahnya minat anak-anak mempelajari dunia pertanian. Maka, untuk menarik minat anak-anak terhadap pertanian, ia menciptakan boneka horta sebagai media edukasi. Gigin menemukan ide bagaimana membuat boneka yang sekaligus menjadi wahana bagi tumbuhnya rumput di dalam boneka tersebut. Karena berfungsi sebagai wahana tanam, dipilihlah serbuk gergaji sebagai bahan utama pembuat boneka
Serbuk kayu yang merupakan limbah industri penggergajian kayu kemudian dibentuk sedemikian rupa menggunakan bahan stoking dan bahan lain, sehingga menjadi sebuah boneka. Di dalam serbuk kayu ditanamkan bibit-bibit rumput. Jika rajin disiram, lama kelamaan dari dalam serbuk kayu itu akan tumbuh rumput-rumput hijau.
Sedangkan bahan-bahan lainnya adalah benih rumput, arang sekam, pupuk, dan aksesoris boneka seperti mata, pita-pita, dan kancing. Bahannya diperoleh dari sekitar kota Bogor, kecuali untuk benih rumput yang harus didatangkan dari Amerika, karena benih rumput lokal hingga saat ini sulit diperolehnya, sehingga membuat Gigin beserta teman-temannya mengadakan penelitian untuk benih rumput lokal. Dalam satu tahun, mereka mengimpor benih rumput setidaknya sekitar 1 ton dari Amerika.
Dengan konsep boneka tersebut, Gigin juga berharap bisa menanamkan kecintaan terhadap tanaman dan lingkungan kepada anak-anak, melalui cara yang mereka mengerti dan sukai. Ide yang terkesan sangat sederhana, tetapi akan bisa lebih dimengerti oleh anak-anak.
Gigin memulai bisnis tahun 2006, saat usianya 22 tahun. Saat itu Gigin dan 6 orang rekannya membuat sebuah proporsal yang diajukan kepada Dirjen Pendidikan Tinggi melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Dan ternyata proporsal mereka diterima dan mereka mendapatkan modal awal untuk pengembangan usahanya sebesar Rp 4,75 juta. Kemudian dari situlah mereka mengawali untuk memproduksi boneka-bonekanya. Modal itu kemudian dibelikan berbagai peralatan sederhana untuk membuat boneka dari bahan-bahan serbuk gergaji.
Bukan hal mudah bagi Gigin untuk mengembangkan usaha bonekanya menjadi besar. Terlebih saat rekan-rekan Gigin satu persatu meninggalkannya karena memilih melamar dan bekerja di perusahaan. Namun, dengan tekadnya yang kuat, Gigin tetap berupaya mempopulerkan boneka horta.
Pada awalnya, untuk memproduksi Boneka Horta Gigin mulai merekrut tiga orang karyawan dengan produktivitas yang cukup baik, lima puluh boneka per minggu.  Namun, dengan semakin membanjirnya pesanan dan meningkatnya penjualan Boneka Horta, kini Gigin mempunyai empat puluh karyawan yang ditempatkan di rumah produksi  di Ciomas.  Sekarang pun produksinya sudah mencapai tujuh ratus hingga seribu boneka per hari.
Boneka Horta adalah produk utama dari usaha wiraswasta ini. Gigin selalu menekankan pentingnya kreativitas dan terus melakukan inovasi produk.  Produk ini cukup menarik perhatian masyarakat dan menjadi salah satu produk unggulan.  Sampai sekarang Horta mempunyai diferensiasi produk, yaitu Boneka Horta Panda, Horta Kura-kura, Horta Platipus, Horta Sapi, dan sebagainya. Bahkan, untuk ke depan Horta sudah menyiapkan boneka dengan variasi bentuk buah-buahan.
Sembilan puluh persen boneka masih diproduksi dan dipasarkan sesuai dengan pemesanan. Proses produksi memakan waktu sekitar satu minggu. Apabila konsumen memesan hari ini, minggu depan Boneka Horta baru bisa diambil. Boneka Horta sering mendapatkan pesanan dari perusahaan-perusahaan besar yang ingin menggunakan produknya sebagai souvenir.  Beberapa perusahaan tersebut antara lain adalah Toyota, Frisian Flag, dan Bank Ekonomi. Untuk sepuluh persen sisanya dijual dan didistribusikan ke toko, ritel, dan pusat-pusat perbelanjaan.
Uniknya, pada awalnya target market Boneka Horta adalah para siswa TK dan SD, dengan tujuan ingin memperkenalkan dunia pertanian kepada mereka. Namun Boneka Horta ternyata disukai oleh segmen anak muda.
Horta membandrol produknya dengan harga berkisar Rp 7000 sampai Rp 15.000 di toko Boneka Horta sendiri. Sedangkan di tempat-tempat perbelanjaan lain, konsumen bisa mendapatkan boneka dengan harga Rp 20.000 sampai Rp 25.000.  Menurut Gigin, sampai saat ini Boneka Horta sudah terdistribusi di seluruh Indonesia, tapi  untuk sementara masih di kota-kota besar. Dalam satu bulan mereka bisa memproduksi dan mendistribusikan lebih dari dua puluh empat ribu boneka. Dari penjualan yang konstan, setiap bulan Boneka Horta bisa meraih omzet Rp 100 juta hingga Rp 150 juta perbulan.
Untuk ke depan, Boneka Horta mencoba fokus pada segmen anak-anak dan melakukan edukasi tentang pertanian kepada mereka. Dengan semboyan mainan unik, kreatif, dan imajinatif yang berwawasan lingkungan, Boneka Horta optimis memasuki segmen itu. Wujud nyatanya adalah dengan memberikan pelatihan-pelatihan Boneka Horta pada anak-anak. 

Edited by: Yasmin Anwar

Sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/manufaktur/gigin-mardiansyah-bangun-bisnis-dari-kesederhanaan-ide diakses 11 desember 2014 pukul 13:05

Rudi Syaf: Sang Entrepreneur Sosial dari Jambi

0 comments

Rudi Syaf (Kiri)
Memperjuangkan hak kelola rakyat tak melelahkan Rudi Syaf. Pria paruh baya ini sudah sejak muda memang selalu menekuni dunia sosial dan advokasi masyarakat miskin di dalam dan sekitar hutan.
Bakat dan kemampuan Rudi di bidang ini sudah menonjol ketika masih berstatus mahasiswa. Kala masih menginjakkan tahun kedua kuliah, Rudi sudah mengorganisir kawan-kawannya untuk membangun kepedulian pada lingkungan dan masyarakat. Diawali dengan mendirikan Perkumpulan Gita Buana pada tahun 1987 hingga kemudian Warsi tahun 1991, dan sejumlah lembaga lainnya, untuk membela kepentingan masyarakat dan perlindungan kawasan hutan.
Di Komunitas Konservasi Indonesia (Warsi), Rudi sudah dua periode menjabat sebagai direktur eksekutif. Bersama Warsi pula perjuangan ayah tiga anak ini terus berkembang. Diawali pada tahun 1997, Rudi dan kawan-kawannya di Warsi melihat telah terjadi ketidakseimbangan pengelolaan sumber daya alam. Hal ini kemudian memiskinkan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan, termasuk masyarakat adat, seperti komunitas Orang Rimba, Bathin IX dan Talang Mamak.
Bersama Warsi, dari penelitian dan analisis lapangan diketahui bahwa kehidupan suku-suku asli minoritas semakin terdesak akibat pola pembangunan yang diterapkan pemerintah. Sebagai contoh untuk Orang Rimba yang hidupnya sangat bergantung kepada hutan, tetapi hutan mereka dibabat dan digantikan dengan hutan monokultur, kebun sawit, transmigrasi. Akibatnya Orang Rimba tergusur dari tanah mereka sendiri.
Rudi dan kawan-kawan kemudian melakukan pendekatan pada Orang Rimba. Maklumlah pada saat itu Orang Rimba sangat marginal. Dia memilih menyisihkan separuh waktu di hidupnya dari komunitas dari luar mereka. Ketika hutan yang menjadi rumah mereka tergusur Orang Rimba memilih menghindar, namun kondisi ini tentu tidak bisa terus bertahan, karena lahan semakin sempit dan Orang Rimba semakin terjepit. Cukup panjang waktu yang dibutuhkan hingga kemudian Rudi dan Warsi bisa diterima Orang Rimba.
Kegiatan pertama yang Rudi lakukan adalah mengenali adat kebiasaan Orang Rimba untuk kemudian menemukan kebutuhan mendasar mereka, dari analisis dan kajian kita melihat bahwa ruang hidup Orang Rimba semakin sempit. Sedangkan penguasaan kawasan oleh korporasi meningkat drastis, Orang Rimba harus berjuang untuk mendapatkan haknya, jika tidak pada saatnya mereka akan kehilangan semuanya.
Seperti kawasan Hidup Orang Rimba di Bukit Duabelas, kala itu hutan dataran rendah di jantung Provinsi Jambi berstatus cagar Biosfir Bukit Duabelas dengan luas 37 ribu ha. Sedangkan di bagian utara kawasan telah diberikan izin konsesi untuk perusahaan HTI. Padahal di bagian utara ini juga terdapat komunitas Orang Rimba

Edited by Tundzirawati

Sumber:
http://news.detik.com/read/2012/04/04/165940/1885292/608/rudi-syaf-sang-entrepreneur-sosial-dari-jambi
http://sociopreneurugm.com/rudi-syaf-sang-entrepreneur-sosial-dari-jambi/