Oscar Lawalata: Berdayakan Pengrajin Tenun Indonesia

0 comments


Oscar Septianus Lawalata atau lebih dikenal dengan Oscar Lawalata lahir di Pekanbaru, Riau, 1 September 1977. Dia adalah anak pertama dari pasangan Ragnild Antoinette (lebih dikenal sebagai Reggy Lawalata) dan Alexander Polii. Saudara laki- lakinya, Mario Lawalata, dikenal sebagai pemain sinetron terkenal.
Berbekal bakat menggambar yang dimilikinya, Oscar mulai meniti mimpinya dengan bersekolah di Esmod, Jakarta. Program yang seharusnya tiga tahun, hanya dijalani separuhnya saja. Oscar berhenti sekolah saat terjadi krisis moneter pada tahun 1998. Uang yang sedianya untuk biaya sekolah di Esmod, digunakannya untuk membuka usaha sendiri. Meskipun belum menyelesaikan studinya jiwa wirausaha itu begitu kuat. Berawal dari persahabatannya dengan seorang model, Novie yang dikenalnya mengikuti lomba model di majalah remaja dulu ketika SMA. Bersamanya yang sudah dianggap sebagai kakak, Oscar memasuki dunia fasion dan mode di Indonesia.
Pada tahun 1999, Oscar mengikuti lomba desain di Singapura dimana menjadi ciri khasnya sekarang. Dia, kala itu, membuat rancangan yang terinspirasi dari baju Bodo, khas Sulawesi Selatan. Ia mengaku memang menyukai keindahan dan keunikan kultur Indonesia. Dia sukses membawa budaya dari Indonesia ke pentas dunia. Berkat rancangan yang unik membawanya menjadi pemenang ajang di Singapura. Oscar meraih juara kedua ASEAN Young Designer Contest, Singapura. Namanya kian melejit dan profil dirinya ditulis berbagai media cetak seperti Kompas.
Oscar juga berkonsentrasi pada pengembangan nasional tenun tekstil sebagai warisan budaya Indonesia, yang sekarang dikerjakannya sebagai koleksi dari labelnya Oscar Lawalata Couture. Oscar melakukan penelitian selama 10 tahun mengenai kain tenun Timor. Oscar menjalin kerjasama dengan para pengrajin tenun tradisional yang ada di berbagai daerah Indonesia. Para penghajin tenun yang biasanya mendapatkan bayaran yang kecil atas karya yang mereka buat. Melalui Oscar Lawalata, karya mereka bisa sampai ke dunia Internasional dengan bayaran yang sepadan.
Pada Februari 2009, Oscar meraih penghargaan International Young Creative Entrepreneur (IYCY) yang digelar British Council, dan berhak atas hadiah uang sebesar 7.500 Pounsterling. Kompetisi internasional yang digelar sejak tahun 2005 itu diikuti 115 perancang dari 47 negara di Asia, Afrika, Eropa Tengah, Timur Tengah dan Amerika Latin. Dalam ajang itu, ia berhasil menyingkirkan perancang dari Brazil, India, Polandia, Arab Saudi, Srilangka, Thailand, Tunia dan Vietnam. "Saya merasa senang bercampur sedih, haru, dan merupakan suatu kehomatan bagi dunia mode di Indonesia," ujar Oscar seperti dikutip dari situs surya.co.id.

By: Anis Soraya

Sumber : surya.co.idtokohindonesia.com, businessweek.com

gambar: http://www.indonesianfilmcenter.com/cc/oscar-septianus-lawalata.html

PENDAMPINGAN SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT

0 comments


Makalah disajikan pada Pelatihan Pengembangan Masyarakat Bagi Pengurus Forum Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Tingkat Propinsi se Indonesia, Pusdiklat Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat Depsos RI, Jl. Dewi Sartika No. 200, Jakarta, Rabu 28 Agustus 2002. 

Oleh Edi Suharto

Pengembangan Masyarakat (PM) adalah proses membantu orang-orang biasa agar dapat memperbaiki masyarakatnya melalui tindakan-tindakan kolektif (Twelvetrees, 1991:1). Secara akademis, PM dikenal sebagai salah satu metode pekerjaan sosial yang tujuan utamanya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada prinsip partisipasi sosial (Suharto, 1997:292). Menurut Johnson (1984), PM merupakan spesialisasi atau setting praktek pekerjaan sosial yang bersifat makro (macro practice). 

PM secara umum meliputi perencanaan, pengkoordinasian dan pengembangan berbagai aktivitas pembuatan program atau proyek kemasyarakatan. Sebagai suatu kegiatan kolektif, PM melibatkan beberapa aktor, seperti Pekerja Sosial, masyarakat setempat, lembaga donor serta instansi terkait, yang saling berkerjasama mulai dari perancangan, pelaksanaan, sampai evaluasi terhadap program atau proyek tersebut (Suharto, 1997: 292-293).

Konsultasi Pemecahan Masalah
Konsultasi pemecahan masalah tidak hanya dilakukan dengan profesi lain (dokter, guru), melainkan dengan sistem klien lainnya. Konsultasi tidak pula hanya berupa pemberian dan penerimaan saran-saran, melainkan merupakan proses yang ditujukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai pilihan-pilihan dan mengidentifikasi prosedur-prosedur bagi tindakan-tindakan yang diperlukan. Pekerja sosial membagi secara formal pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya, sedangkan klien membagi pengalaman personal, organisasi atau kemasyarakatan yang pernah diperoleh semasa hidupnya. Dalam proses pemecahan masalah, pendampingan sosial dapat dilakukan melalui serangkaian tahapan yang biasa dilakukan dalam praktek pekerjaan sosial pada umumnya, yaitu: pemahaman kebutuhan, perencanaan dan penyeleksian program, penerapan program, evaluasi dan pengakhiran. 

PERANAN PEKERJA SOSIAL: MODEL DAN STRATEGI

Paradigma generalis dapat memberi petunjuk mengenai fungsi kegiatan-kegiatan pembimbingan sosial serta menunjukkan peranan-peranan dan strategi-strategi sesuai dengan fungsi tersebut. Mengacu pada Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994), ada beberapa peran pekerjaan sosial dalam pembimbingan sosial. Lima peran di bawah ini sangat relevan diketahui oleh para pekerja sosial yang akan melakukan pembimbingan sosial.

Fasilitator 

Dalam literatur pekerjaan sosial, peranan “fasilitator” sering disebut sebagai “pemungkin” (enabler). Keduanya bahkan sering dipertukarkan satu-sama lain. Seperti dinyatakan Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994:188), “The traditional role of enabler in social work implies education, facilitation, and promotion of interaction and action.” Selanjutnya Barker (1987) memberi definisi pemungkin atau fasilitator sebagai tanggungjawab untuk membantu klien menjadi mampu menangani tekanan situasional atau transisional. 

Strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan tersebut meliputi: pemberian harapan, pengurangan penolakan dan ambivalensi, pengakuan dan pengaturan perasaan-perasaan, pengidentifikasian dan pendorongan kekuatan-kekuatan personal dan asset-asset sosial, pemilahan masalah menjadi beberapa bagian sehingga lebih mudah dipecahkan, dan pemeliharaan sebuah fokus pada tujuan dan cara-cara pencapaiannya (Barker, 1987:49).

Broker
Dalam pengertian umum, seorang broker membeli dan menjual saham dan surat berharga lainnya di pasar modal. Seorang beroker berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dari transaksi tersebut sehingga klien dapat memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Pada saat klien menyewa seorang broker, klien meyakini bahwa broker tersebut memiliki pengetahuan mengenai pasar modal, pengetahuan yang diperoleh terutama berdasarkan pengalamannya sehari-hari. Dalam proses pendampingan sosial, ada dua pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki pekerja sosial:

·     Pengetahuan dan keterampilan melakukan asesmen kebutuhan masyarakat (community needs assessment), yang meliputi: (a) jenis dan tipe kebutuhan, (b) distribusi kebutuhan, (c) kebutuhan akan pelayanan, (d) pola-pola penggunaan pelayanan, dan (e) hambatan-hambatan dalam menjangkau pelayanan (lihat makalah penulis mengenai metode dan teknik pemetaan sosial untuk mengetahu cara-cara mengidentifikasi masalah dan kebutuhan masyarakat).
·     Pengetahuan dan keterampilan membangun konsorsium dan jaringan antar organisasi. Kegiatan ini bertujuan untuk: (a) memperjelas kebijakan-kebijakan setiap lembaga, (b) mendefinisikan peranan lembaga-lembaga, (c) mendefinisikan potensi dan hambatan setiap lembaga, (d) memilih metode guna menentukan partisipasi setiap lembaga dalam memecahkan masalah sosial masyarakat, (e) mengembangkan prosedur guna menghindari duplikasi pelayanan, dan (f) mengembangkan prosedur guna mengidentifikasi dan memenuhi kekurangan pelayanan sosial. 

Mediator
Pekerja sosial sering melakukan peran mediator dalam berbagai kegiatan pertolongannya. Peran ini sangat penting dalam paradigma generalis. Peran mediator diperlukan terutama pada saat terdapat perbedaan yang mencolok dan mengarah pada konflik antara berbagai pihak. Lee dan Swenson (1986) memberikan contoh bahwa pekerja sosial dapat memerankan sebagai “fungsi kekuatan ketiga” untuk menjembatani antara anggota kelompok dan sistem lingkungan yang menghambatnya. 

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam melakukan peran mediator meliputi kontrak perilaku, negosiasi, pendamai pihak ketiga, serta berbagai macam resolusi konflik. Dalam mediasi, upaya-upaya yang dilakukan pada hakekatnya diarahkan untuk mencapai “solusi menang-menang” (win-win solution). Hal ini berbeda dengan peran sebagai pembela dimana bantuan pekerja sosial diarahkan untuk memenangkan kasus klien atau membantu klien memenangkan dirinya sendiri. 
  
Pembela
Dalam praktek PM, seringkali pekerja sosial harus berhadapan sistem politik dalam rangka menjamin kebutuhan dan sumber yang diperlukan oleh klien atau dalam melaksanakan tujuan-tujuan pendampingan sosial. Manakala pelayanan dan sumber-sumber sulit dijangkau oleh klien, pekeja sosial haru memainkan peranan sebagai pembela (advokat). Peran pembelaan atau advokasi merupakan salah satu praktek pekerjaan sosial yang bersentuhan dengan kegiatan politik. 

Peran pembelaan dapat dibagi dua: advokasi kasus (case advocacy) dan advokasi kausal (cause advocacy) (DuBois dan Miley, 1992; Parsons, Jorgensen dan Hernandez, 1994). Apabila pekerja sosial melakukan pembelaan atas nama seorang klien secara individual, maka ia berperan sebagai pembela kasus. Pembelaan kausal terjadi manakala klien yang dibela pekerja sosial bukanlah individu melainkan sekelompok anggota masyarakat. 

Pelindung
Tanggungjawab pekerja sosial terhadap masyarakat didukung oleh hukum. Hukum tersebut memberikan legitimasi kepada pekerja sosial untuk menjadi pelindung (protector) terhadap orang-orang yang lemah dan rentan. Dalam melakukan peran sebagai pelindung (guardian role), pekerja sosial bertindak berdasarkan kepentingan korban, calon korban, dan populasi yang berisiko lainnya. Peranan sebagai pelindung mencakup penerapan berbagai kemampuan yang menyangkut: (a) kekuasaan, (b) pengaruh, (c) otoritas, dan (d) pengawasan sosial. 

By: Danis Dea Rizky

Pengembangan Metode Pembelajaran Pendidikan Karakter Melalui Kewirausahaan Sosial (Sociopreneurship)

0 comments

Penny Rahmawaty, Dyna Herlina Suwarto, M.Lies Endarwati
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta

PENDAHULUAN
Perkembangan dunia yang semakin mengglobal mengakibatkan begitu mudahnya nilai-nilai asing masuk ke dalam budaya dan kehidupan Bangsa Indonesia. Untuk menjaga dan memperkuat jati diri bangsa dibutuhkan suatu kemauan, tekad dan komitmen yang kuat dari seluruh elemen masyarakat agar identitas dan kepribadian bangsa tidak luntur dilekang jaman tetapi tetap kuat, kokoh dan tak tergoyahkan. Generasi muda diharapkan dapat membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat, kokoh dan mandiri yang diperhitungkan dalam kancah kehidupan dunia internasional. Kesiapan mahasiswa sebagai generasi muda dalam memecahkan persoalan bangsa ini harus didukung oleh sistem pembelajaran yang ada. Selama ini penyelenggaraan pendidikan lebih menekankan pada penguasaan materi dan melatih kecerdasan intelektual sehingga cenderung bersifat intelektualistik.
Pendidikan saat ini belum mampu membangun interaksi yang paradigmatik antara aspek kehambaan dan kekhalifahan. Akibatnya pendidikan kita kurang bermakna bagi kehidupan manusia yang utuh dan asasi. Pendidikan yang demikian ini cenderung kurang memperhatikan pendidikan karakter. Program pembelajaran dibuat dalam suatu model yang unik yang terintegrasi baik dalam bentuk mata kuliah pendidikan karakter itu sendiri maupun dalam mata kuliah yang ada di masing-masing program studi. Dalam kesempatan ini dikembangkan suatu model pembelajaran pendidikan karakter dalam mata kuliah kewirausahaan khususnya mengenai kewirausahaan sosial.

KAJIAN PUSTAKA
1. Kewirausahaan Sosial
Kewirausahaan sosial adalah kewirausahaan yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat bukan sekadar memaksimalkan keuntungan pribadi. Kewirausahaan sosial biasa disebut 'pengembangan masyarakat' atau “organisasi bertujuan sosial' (Tan, 2005:1).
Beberapa definisi wirausaha sosial yang bisa digunakan untuk memahami aktivitas ini adalah: (S.Dev Appanah & Brooke Estin, 2009 )
a.   Definisi yang dikemukakan oleh J. Gregory Dees, Professor of Sosial Entrepreneurship at Duke University yang mengatakan bahwa wirausaha sosial adalah pelaku reformasi atau revolusi sektor sosial (pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi, lingkungan, seni dan sebagainya). Mereka berusaha mengatasi akar masalah, bukan sekedar menanggulangi ujung masalah dengan cara sistemik dan berkelanjutan dalam bentuk organisasi non profit, hybrid (gabungan antara profit dan non profit), bank rakyat, balai latihan kerja. Inovasi yang diciptakan adalah mengatasi akar masalah, sedangkan misi sosial yang dikembangkan adalah pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi dan lingkungan seni. Model bisnis yang sesuai meliputi bisnis bertujuan sosial, bank rakyat, organisasi hybrid dan balai latihan kerja. Dampak yang dimunculkan dengan wirausaha sosial ini adalah menciptakan nilai sosial /lingkungan, bertindak lokal untuk mengatasi masalah global, skala bisa diperluas, perubahan sistemik, dan pengembangan berkelanjutan. Bentuk organisasi yang sesuai adalah organisasi non profit, bisnis bertujuan sosial dan organisasi hybrid
b.      Bill Drayton, CEO and Chair of Ashoka
Wirausaha sosial adalah individu yang memiliki solusi inovatif untuk mengatasi masalah sosial dengan cara mengubah sistem, memberikan solusi dan memengaruhi masyarakat untuk melakukan perubahan. Awalnya ia bertindak dalam skala lokal kemudian dapat diperluas. Inovasi yang dikembangkan adalah solusi inovatif dan menciptakan kesempatan baru. Misi sosialnya mengatasi masalah sosial yang paling menekan. Dampak dari adanya wirausaha sosial ini adalah perubahan skala luas, mengubah sistem dan menyebar luaskan solusi.

2. Bentuk Wirausaha Sosial
Ada beberapa bentuk wirausaha sosial (Tan, 2005)
a.       Organisasi berbasis komunitas
b.      Socially responsible enterprises
c.       Socio-economic atau dualistic enterprises.

Pendidikan karakter
Pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behavior (Lickona, 1991). Secara praktis, pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga sekolah atau kampus yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia paripurna (insan kamil).
Pembentukan karakter harus disertai dengan pembiasaan-pembiasaan (habituation). Pembiasan dimaksud dapat dilakukan di kampus dengan berbagai cara dan menyangkut banyak hal seperti disiplin waktu, etika berpakaian, etika pergaulan, perlakuan mahasiswa kepada karyawan, dosen, dan pimpinan fakultas, dan sebaliknya. Untuk pembentukan karakter diperlukan pula lingkungan yang sehat dan kondusif.
Nilai-nilai karakter utama yang akan dikembangkan dalam pembelajaran ini adalah: (1) ketaatan beribadah; (2) kejujuran; (3) disiplin dan tanggung jawab, (4) rasa hormat dan peduli serta (5) kerjasama.

Edited by: Danis Dea

(Diakses Tanggal 11 Desember 2014, Pukul 16.00 WIB)



Gigin Mardiansyah: Bangun bisnis dari kesederhanaan ide

0 comments

Ide untuk memulai sebuah usaha, tidaklah selamanya datang dari suatu hal yang besar. Seringkali ide yang sangat sederhana pun, jika dijalankan dengan ketekunan dan kesungguhan, bisa mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Hal itulah yang dialami oleh Gigin Mardiansyah, seorang entrepreneur muda asal Bogor, Jawa Barat, yang menjalankan bisnis aksesoris boneka Horta, atau boneka hortikultura. Bahkan atas pencapaiannya sebagai seorang wirausahawan muda, Gigin pun telah mendapatkan berbagai penghargaan. Salah satunya adalah penghargaan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebagai salah satu Pemuda Andalan Nusantara tahun 2010.
Gigin Mardiansyah
Lulusan Institut Pertanian Bogor itu mengembangkan boneka horta setelah memerhatikan semakin rendahnya minat anak-anak mempelajari dunia pertanian. Maka, untuk menarik minat anak-anak terhadap pertanian, ia menciptakan boneka horta sebagai media edukasi. Gigin menemukan ide bagaimana membuat boneka yang sekaligus menjadi wahana bagi tumbuhnya rumput di dalam boneka tersebut. Karena berfungsi sebagai wahana tanam, dipilihlah serbuk gergaji sebagai bahan utama pembuat boneka
Serbuk kayu yang merupakan limbah industri penggergajian kayu kemudian dibentuk sedemikian rupa menggunakan bahan stoking dan bahan lain, sehingga menjadi sebuah boneka. Di dalam serbuk kayu ditanamkan bibit-bibit rumput. Jika rajin disiram, lama kelamaan dari dalam serbuk kayu itu akan tumbuh rumput-rumput hijau.
Sedangkan bahan-bahan lainnya adalah benih rumput, arang sekam, pupuk, dan aksesoris boneka seperti mata, pita-pita, dan kancing. Bahannya diperoleh dari sekitar kota Bogor, kecuali untuk benih rumput yang harus didatangkan dari Amerika, karena benih rumput lokal hingga saat ini sulit diperolehnya, sehingga membuat Gigin beserta teman-temannya mengadakan penelitian untuk benih rumput lokal. Dalam satu tahun, mereka mengimpor benih rumput setidaknya sekitar 1 ton dari Amerika.
Dengan konsep boneka tersebut, Gigin juga berharap bisa menanamkan kecintaan terhadap tanaman dan lingkungan kepada anak-anak, melalui cara yang mereka mengerti dan sukai. Ide yang terkesan sangat sederhana, tetapi akan bisa lebih dimengerti oleh anak-anak.
Gigin memulai bisnis tahun 2006, saat usianya 22 tahun. Saat itu Gigin dan 6 orang rekannya membuat sebuah proporsal yang diajukan kepada Dirjen Pendidikan Tinggi melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Dan ternyata proporsal mereka diterima dan mereka mendapatkan modal awal untuk pengembangan usahanya sebesar Rp 4,75 juta. Kemudian dari situlah mereka mengawali untuk memproduksi boneka-bonekanya. Modal itu kemudian dibelikan berbagai peralatan sederhana untuk membuat boneka dari bahan-bahan serbuk gergaji.
Bukan hal mudah bagi Gigin untuk mengembangkan usaha bonekanya menjadi besar. Terlebih saat rekan-rekan Gigin satu persatu meninggalkannya karena memilih melamar dan bekerja di perusahaan. Namun, dengan tekadnya yang kuat, Gigin tetap berupaya mempopulerkan boneka horta.
Pada awalnya, untuk memproduksi Boneka Horta Gigin mulai merekrut tiga orang karyawan dengan produktivitas yang cukup baik, lima puluh boneka per minggu.  Namun, dengan semakin membanjirnya pesanan dan meningkatnya penjualan Boneka Horta, kini Gigin mempunyai empat puluh karyawan yang ditempatkan di rumah produksi  di Ciomas.  Sekarang pun produksinya sudah mencapai tujuh ratus hingga seribu boneka per hari.
Boneka Horta adalah produk utama dari usaha wiraswasta ini. Gigin selalu menekankan pentingnya kreativitas dan terus melakukan inovasi produk.  Produk ini cukup menarik perhatian masyarakat dan menjadi salah satu produk unggulan.  Sampai sekarang Horta mempunyai diferensiasi produk, yaitu Boneka Horta Panda, Horta Kura-kura, Horta Platipus, Horta Sapi, dan sebagainya. Bahkan, untuk ke depan Horta sudah menyiapkan boneka dengan variasi bentuk buah-buahan.
Sembilan puluh persen boneka masih diproduksi dan dipasarkan sesuai dengan pemesanan. Proses produksi memakan waktu sekitar satu minggu. Apabila konsumen memesan hari ini, minggu depan Boneka Horta baru bisa diambil. Boneka Horta sering mendapatkan pesanan dari perusahaan-perusahaan besar yang ingin menggunakan produknya sebagai souvenir.  Beberapa perusahaan tersebut antara lain adalah Toyota, Frisian Flag, dan Bank Ekonomi. Untuk sepuluh persen sisanya dijual dan didistribusikan ke toko, ritel, dan pusat-pusat perbelanjaan.
Uniknya, pada awalnya target market Boneka Horta adalah para siswa TK dan SD, dengan tujuan ingin memperkenalkan dunia pertanian kepada mereka. Namun Boneka Horta ternyata disukai oleh segmen anak muda.
Horta membandrol produknya dengan harga berkisar Rp 7000 sampai Rp 15.000 di toko Boneka Horta sendiri. Sedangkan di tempat-tempat perbelanjaan lain, konsumen bisa mendapatkan boneka dengan harga Rp 20.000 sampai Rp 25.000.  Menurut Gigin, sampai saat ini Boneka Horta sudah terdistribusi di seluruh Indonesia, tapi  untuk sementara masih di kota-kota besar. Dalam satu bulan mereka bisa memproduksi dan mendistribusikan lebih dari dua puluh empat ribu boneka. Dari penjualan yang konstan, setiap bulan Boneka Horta bisa meraih omzet Rp 100 juta hingga Rp 150 juta perbulan.
Untuk ke depan, Boneka Horta mencoba fokus pada segmen anak-anak dan melakukan edukasi tentang pertanian kepada mereka. Dengan semboyan mainan unik, kreatif, dan imajinatif yang berwawasan lingkungan, Boneka Horta optimis memasuki segmen itu. Wujud nyatanya adalah dengan memberikan pelatihan-pelatihan Boneka Horta pada anak-anak. 

Edited by: Yasmin Anwar

Sumber: http://www.ciputraentrepreneurship.com/manufaktur/gigin-mardiansyah-bangun-bisnis-dari-kesederhanaan-ide diakses 11 desember 2014 pukul 13:05

Rudi Syaf: Sang Entrepreneur Sosial dari Jambi

0 comments

Rudi Syaf (Kiri)
Memperjuangkan hak kelola rakyat tak melelahkan Rudi Syaf. Pria paruh baya ini sudah sejak muda memang selalu menekuni dunia sosial dan advokasi masyarakat miskin di dalam dan sekitar hutan.
Bakat dan kemampuan Rudi di bidang ini sudah menonjol ketika masih berstatus mahasiswa. Kala masih menginjakkan tahun kedua kuliah, Rudi sudah mengorganisir kawan-kawannya untuk membangun kepedulian pada lingkungan dan masyarakat. Diawali dengan mendirikan Perkumpulan Gita Buana pada tahun 1987 hingga kemudian Warsi tahun 1991, dan sejumlah lembaga lainnya, untuk membela kepentingan masyarakat dan perlindungan kawasan hutan.
Di Komunitas Konservasi Indonesia (Warsi), Rudi sudah dua periode menjabat sebagai direktur eksekutif. Bersama Warsi pula perjuangan ayah tiga anak ini terus berkembang. Diawali pada tahun 1997, Rudi dan kawan-kawannya di Warsi melihat telah terjadi ketidakseimbangan pengelolaan sumber daya alam. Hal ini kemudian memiskinkan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan, termasuk masyarakat adat, seperti komunitas Orang Rimba, Bathin IX dan Talang Mamak.
Bersama Warsi, dari penelitian dan analisis lapangan diketahui bahwa kehidupan suku-suku asli minoritas semakin terdesak akibat pola pembangunan yang diterapkan pemerintah. Sebagai contoh untuk Orang Rimba yang hidupnya sangat bergantung kepada hutan, tetapi hutan mereka dibabat dan digantikan dengan hutan monokultur, kebun sawit, transmigrasi. Akibatnya Orang Rimba tergusur dari tanah mereka sendiri.
Rudi dan kawan-kawan kemudian melakukan pendekatan pada Orang Rimba. Maklumlah pada saat itu Orang Rimba sangat marginal. Dia memilih menyisihkan separuh waktu di hidupnya dari komunitas dari luar mereka. Ketika hutan yang menjadi rumah mereka tergusur Orang Rimba memilih menghindar, namun kondisi ini tentu tidak bisa terus bertahan, karena lahan semakin sempit dan Orang Rimba semakin terjepit. Cukup panjang waktu yang dibutuhkan hingga kemudian Rudi dan Warsi bisa diterima Orang Rimba.
Kegiatan pertama yang Rudi lakukan adalah mengenali adat kebiasaan Orang Rimba untuk kemudian menemukan kebutuhan mendasar mereka, dari analisis dan kajian kita melihat bahwa ruang hidup Orang Rimba semakin sempit. Sedangkan penguasaan kawasan oleh korporasi meningkat drastis, Orang Rimba harus berjuang untuk mendapatkan haknya, jika tidak pada saatnya mereka akan kehilangan semuanya.
Seperti kawasan Hidup Orang Rimba di Bukit Duabelas, kala itu hutan dataran rendah di jantung Provinsi Jambi berstatus cagar Biosfir Bukit Duabelas dengan luas 37 ribu ha. Sedangkan di bagian utara kawasan telah diberikan izin konsesi untuk perusahaan HTI. Padahal di bagian utara ini juga terdapat komunitas Orang Rimba

Edited by Tundzirawati

Sumber:
http://news.detik.com/read/2012/04/04/165940/1885292/608/rudi-syaf-sang-entrepreneur-sosial-dari-jambi
http://sociopreneurugm.com/rudi-syaf-sang-entrepreneur-sosial-dari-jambi/

Mita Sirait : mengangkat ekonomi masyarakat dengan sampah

0 comments

Mita Sirait
Mulai dari masyarakat miskin di sekitarnya, Mita Sirait menyalurkan pengetahuan daur ulang sampah dan mengolahnya menjadi produk siap pakai bernilai tinggi. Tiga tahun berselang, keluarga-keluarga miskin pengolah sampah ini sudah bisa mencapai penghasilan dua kali lipat dari mulanya Rp 250.000 per kepala keluarga.
Tahun 2008, Mita Sirait mengumpulkan beberapa penduduk di Pondok Kelapa, Jakarta Timur di dekat rumahnya. Ia memberi pelatihan pengolahan sampah kepada penduduk miskin di Pondok Kelapa, mulai dari pemilihan sampah yang bisa didaur ulang hingga mengolahnya menjadi berbagai produk yang bernilai tinggi.
Mulai dari lingkungan sekitar rumah, Mita kini sudah membina lebih dari 300 kepala keluarga tak hanya di Jakarta, tapi juga di Tangerang dan Jawa Timur. Binaan ini memiliki tugas yang berbeda-beda, mulai dari mengumpulkan sampah, memilah antara sampah organik dan non-organik, hingga proses produksi menjadi barang siap pakai.
Lewat Komunitas Daur Ulang, Mita dan para mitranya menjual berbagai produk hasil limbah dengan harga antara Rp 15.000 hingga Rp 350.000 per unit. Produk yang paling digemari antara lain tas laptop dan tas sekolah. "Kami bisa melayani hingga 300 tas per bulan," kata perempuan kelahiran 16 Juli 1977 ini.
Keterlibatan Mita dalam pengolahan sampah sudah dimulai sejak lama. Setelah menamatkan kuliah dari jurusan Geografi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, perempuan angkatan 1996 ini sem pat bekerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pengembangan Anak di Bandung selama dua tahun. Di sini, ia sebenarnya sudah memiliki ketertarikan untuk menanggulangi permasalahan sampah yang juga menjadi masalah besar di Kota Kembang tersebut.
Mita meyakini permasalahan ini tidak bisa mengandalkan pihak pemerintah saja, melainkan harus ada keterlibatan dari level grass root atau masyarakat lapisan bawah. Dengan kerja sama pemerintah dan masyarakat, lambat laun pasti masalah sampah bakal teratasi.
Pada tahun 2006, ia memutuskan untuk bergabung dengan sebuah LSM yang bergerak di bidang lingkungan, Emmanuel Foundation. Namun, pada tahun 2008, Mita memutuskan untuk lebih fokus pada sampah sedangkan lembaga tersebut tetap pada masalah lingkungan secara umum. Meski pun tidak berseberangan dengan LSM tersebut, Mita ingin lebih spesifik menggarap masalah sampah.
Ia pun mulai fokus mengembangkan para binaannya untuk serius mengelola sampah-sampah yang ada di sekitar mereka. "Saya ingin mereka bisa mandiri secara ekonomi sekaligus ikut menjaga kebersihan lingkungan," ujarnya.
Salah satu peristiwa yang membuat hati Mita miris adalah ketika ia melihat langsung kondisi penduduk di sekitar Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang melakukan aktivitas dengan menggunakan air dari Sungai Cisadane yang kotor. "Mereka tidak mempunyai akses terhadap air bersih, padahal jaraknya tidak jauh dari gerbang internasional Jakarta," tambahnya.
Mita berpartisipasi aktif dari awal hingga akhir dalam proses pengolahan sampah plastik menjadi barang-barang dengan nilai ekonomi tinggi. Ia menyalurkan pengetahuan dan pelatihan berkenaan dengan jenis-jenis plastik, manfaat sampah, dan efek samping terhadap kehidupan. Mita pun menekankan pentingnya penggunaan air bersih dalam kehidupan sehari-hari.
Selain ikut dalam proses produksi, Mita juga membantu dalam interaksi dengan pasar hingga proses penjualan lewat berbagai relasi yang dimilikinya. Alhasil produk-produk mitra binaannya sudah sempat mencapai ekspor ke Amerika Serikat, Australia dan Malaysia.
Namun, karena adanya kebijakan program pengurangan emisi karbon, Mita memilih untuk memfokuskan penjualan produk-produk daur ulang binaannya ke dalam negeri saja. "Biar semakin populer dulu di dalam negeri," tegasnya.
Kemampuan Mita untuk mengembangkan masyarakat dengan bahan sampah tidak lepas dari bekal ilmu yang ia peroleh semasa duduk di bangku kuliah. Di jurusan geografi, Mita mengaku seperti memperoleh dua ilmu sekaligus yakni ilmu eksakta dan ilmu sosial. 
Ilmu eksakta berupa bagaimana mengenal alam beserta unsur-unsur pendukungnya sedangkan ilmu sosial mempelajari bagaimana berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Jadi ia bisa menggunakan kedua ilmunya untuk mengembangkan taraf hidup masyarakat dan pengelolaan lingkungan.
Kemampuannya untuk menjalin relasi bisnis dengan para pelanggan juga ia peroleh dari pengalaman berbisnis selama kuliah. Di Yogyakarta, sambil kuliah Mita membuka tiga gerai penjualan telepon seluler beserta aksesorinya. Mita saat itu sudah memiliki sembilan karyawan. Namun, karena ingin fokus menyelesaikan skripsi, ia memutuskan untuk meninggalkan usahanya tersebut.
Saat ini, Mita sudah memiliki lima pusat pengolahan sampah yang ada di Jakarta dan Tangerang. Dengan cara ini, Mita telah menciptakan sumber pendapatan baru.
Para keluarga yang tadinya hanya punya penghasilan Rp 250.000 sebulan, setelah mengikuti proyek daur ulang ini bisa mendapatkan penghasilan dua kali lipat. Pada saat yang sama, keluarga-keluarga itu dapat mengolah sampah dan hidup sehat dengan penggunaan air bersih.
Mita sering harus merogoh kocek sendiri untuk menutup pengeluaran. Beruntung ia juga bekerja sebagai konsultan independen di lembaga yang didirikannya, Water, Sanitation, Hygiene (WASH). "Untuk hasil maksimal, kami memang harus berkorban tenaga, pikiran dan uang," ujarnya tanpa mengeluh. 

Edited by: Yasmin Anwar

Sumber: http://peluangusaha.kontan.co.id/news/mita-mengangkat-ekonomi-masyarakat-dengan-sampah-1 diakses 11 desember 2014 pukul 13:05

Rhenald Kasali: Wirausaha Sosial Bukan untuk Jadi Kaya

0 comments

Tujuan menjadi wirausaha sosial (social entrepreneur) adalah semata-mata bukan untuk menjadi kaya. Kewirausahaan sosial sejatinya adalah cara melatih kepekaan untuk berbagi terhadap sesama.
Rhenald Kasali
Menurut Rhenald, banyak orang bicara tentang wirausaha, namun mereka belum tentu paham. Saat ini banyak mentor bisnis yang mengajarkan kewirausahaan dengan cara cepat kaya. “Kaya adalah akibat, bukan tujuan. Kaya adalah hasil dari kerja keras kita. Tapi dalam kewirausahaan sosial, inovasi milik Steve Jobs dan Bill Gates digabung dengan kemurahan hati Bunda Theresa, kata Rhenald Kasali.
Padahal dalam kewirausahaan sosial ada beberapa hal yang menjadi pegangan yakni misi sosial, produk atau servis yang ditukar, dan keuntungan yang dicari didistribusikan bukan untuk kepentingan diri sendiri, serta harus dapat mempertanggungjawabkan terhadap apa yang disalurkan.
Menurut Rhenald Kasali, dalam kewirausahaan sosial, tidak hanya orang kaya yang bisa berbagi. Disini, orang miskin pun bisa berbagi.
Wirausaha sosial menjadi fenomena sangat menarik saat ini karena perbedaan-perbedaannya dengan wirausaha tradisional yang hanya fokus terhadap keuntungan materi dan kepuasan pelanggan, serta signifikansinya terhadap kehidupan masyarakat.
Wirausaha sosial melihat masalah sebagai peluang untuk membentuk sebuah model bisnis baru yang bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat sekitar.
Sementara itu, Kukrit Suryo Wicaksono menyampaikan, seorang wirausaha harus belajar dari kegagalan. Karena itu butuh mental juara untuk menghadapi kegagalan agar tidak mudah putus asa. Gagal dalam dunia usaha itu biasa. Justru harus disyukuri. Modal utama mencapai kesuksesan adalah networking. Karena itu jalin networking seluas-luasnya.

Edited by Tundzirawati

Sumber:
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/09/09/129438/Rhenald-Kasali-Wirausaha-Sosial-Bukan-untuk-Jadi-Kaya
http://sociopreneurugm.com/rhenald-kasali-wirausaha-sosial-bukan-untuk-jadi-kaya/

Waroeng Pintar Karya Sofyan Tan

0 comments

Sofyan Tan. Pria asal medan, Sumatera utara ini merasa masih ada jurang pemisah yang besar antara etnis-etnis dan agama di Indonesia. Untuk itulah ia medirikan sekolah multikultural di bawah Yayasan Pendidikan Sultan Iskandar Muda (YPSIM). Di sekolah yang ia dirikan tersebut, para siswa dibiasakan dengan kemajemukan. Ia membangun semua rumah ibadah di sekolah itu dan menjelang perayaan hari raya suatu agama para siswa juga dibiasakan berpartisipasi mendukung, mialnya dengan mendekor ruang kelas.
Selain sekolah, pria yang mendapat penghargaan sebagai tokoh Social Entrepreneur 2011 dari sebuah surat kabar nasional ini juga mendirikan Waroeng Pintar sebagai wadah interaksi warga Medan dan memfasilitasinya dengan berbagai macam buku. Tujuan didirikannya Waroeng Pintar ini untuk menjembatani berbagai perbedaan di Medan.Menurutnya, warung makanan dan minuman (ringan), atau sering disebut juga kedai minuman, biasanya dijadikan ruang untuk berinteraksi diantara sesama anggota masyarakat. Di warung, orang-orang saling bersosialisasi, bertukar informasi, berkeluh-kesah, berkelakar dan melakukan aktivitas-aktivitas kemanusiaan. Melihat potensi tersebut, Sofyan Tan tergerak untuk meningkatkan fungsi warung makan.
Konsep “Waroeng Pintar” adalah upaya menjadikan warung makan dan minum sebagai sumber untuk mencari pengetahuan dan informasi bagi para pelanggan dan masyarakat sekitar warung. Caranya dengan memberi tambahan fasilitas buku-buku bacaan, yang dapat dimanfaatkan secara gratis oleh pengunjung. Kelak, pengelola warung pintar juga dapat menyediakan akses internet murah untuk menambah pasokan informasi dari dunia maya. “Saat ini sudah ada 2 warung pintar di Medan,”jelasnya. Bantuan buku-buku terus-menerus mengalir dari berbagai kalangan masyarakat. Ia sendiri banyak menempatkan buku-buku yang diharapkan dapat mengilhami pengunjuung untuk saling menghormati perbedaan yang ada.

By: Adetya Nuzuliani

Sumber:
http://www.sofyantan.org/
http://www.antarafoto.com/peristiwa/v1273496401/warung-pintar

Amin aziz, sang Perintis Ekonomi Syariah

0 comments

Amin Aziz merupakan salah satu tokoh yang berperan besar dalam sejarah perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Beliau termasuk cendikiawan yang pada tahun 1990 turut memperjuangkan berdirinya bank syariah pertama. Adalah Amin Aziz yang menjadi salah satu inisiator Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor pada tahun 1990. Semua dimulai dengan surat Amin menggunakan Yayasan Kajian Komunikasi Dakwah (YKKD) kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI). Intinya, saat itu Amin menawarkan diri agar diberi tugas MUI untuk menggelar lokakarya sekaligus diberi wewenang mencari dana. MUI yang ada saat itu sudah mendapatkan gambaran utuh mengenai bank Islam dari Karnaen Perwataatmadja, langsung mengiyakan permintaan Amin. Selanjutnya Amin didapuk menjadi Ketua Tim Panitia Pelaksana Lokakarya.  Ia juga melahirkan konsep Baitul Maal Wat Tamwill yang memberikan alternatif pembiayaan usaha mikro.
Pembentukan BMT pertama dimulai tahun 1995 di Jakarta dan sampai dengan akhir 2009 sudah berdiri lebih dari 500 BMT baru. Dalam biografi tentang Amin Aziz yang berjudul “Kegigihan Sang Perintis”, berkat kegigihan dan kerja kerasnya, Amin berhasil mengumpulkan dana sebesar  Rp 125,5 juta sebagai modal menggelar lokakarya.  Pengarang Buku Buku Best Seller 2008 The Power of Al Fatihah ini juga tercatat dalam sejarah sebagai Wakil Ketua Tim Penyiapan Bank Tanpa Bunga. Bersama Karnaen Perwataatmadja, Amir Rajab Batubara, Zainulbahar Noor, gencar melakukan ‘roadshow’ audiensi pendirian bank syariah ke para pejabat di Bank Indonesia dan Kementrian Keuangan.  Pria kelahiran Lhokseumawe, 17 Desember 1936 ini memiliki prestasi gemilang dalam penggalangan modal awal pendirian bank syariah pertama. Sebagai ketua Tim Penggalangan Dana, Amin berhasil mengumpulkan dana komitmen sebesar Rp 110 Miliar di tahun 1990. Dana yang sangat besar untuk mendirikan bank, karena saat itu berdasarkan Pakto 1998, untuk mendirikan bank cukup Rp 10 Miliar.
Amin Aziz meraih gelar M.Sc Sosiologi Pedesaan di Uniuversity of the Philillone. Los Banos, Filipina tahun 1974 dan meraih gelar Ph.D ekonomi pertanian di LOWA State University, AS tahun 1978. [Puri Hukmi] Sosok Amin Aziz dikenal sebagai orang yang sangat memperhatikan ekonomi kerakyatan dan bagaimana cara menanggulangi kemiskinan. Menurut Nanat Fatah Natsir, Amin Aziz sangat perhatian kepada masyarakat miskin. Beliau juga merupakan sosok yang religius dan rendah hati.“Beliau orang yang sangat ikhlas dan konsen sekali terhadap masyarakat kecil. Kalau digambarkan hidupnya diabdikan untuk membela masyarakat lemah. “ Tutur Nanat
By: Resti Fauziah

Semangat Muda, Semangat Social Entrepreneur

0 comments

Berawal dari masalah ketidaksediaan listrik di Desa Bacu Bacu, Makassar, Sulawesi Selatan, sehingga masyarakat disana tak bisa menikmati listrik. Namun, dengan semangat muda yang dimilikinya, Harianto Albar (24 tahun) tahun 2012 mengembangkan kincir air untuk dijadikan sebagai pembangkit tenaga listrik. Mahasiswa Universitas Negeri Makassar ini lantas berhasil memproduksi listrik dari kincir air tersebut. Sejak saat itu, warga Bacu Bacu bisa menikmati listrik di malam hari.
Harianto merupakan satu dari sekian tokoh yang memiliki semangat muda untuk melakukan gerakan sosial. Ada yang membantu masyarakat mengajar baca tulis, atau kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Kegiatan yang menggabungkan aksi sosial dengan kegiatan wirausaha atau enterpreunership dikenal sebagai social entrepreneurship.
Dengan kompleksnya masalah yang ada di masyarakat, bisa menjadi sarana untuk belajar mengembangkan diri, baik dalam hal pengabdian masyarakat maupun melatih wirausaha. Kini juga makin banyak pihak termasuk perusaahaan maupun LSM yang ikut berpartisipasi mendukung kegiatan sosiopreneur yang dilakukan mahasiswa.
Sebagai Generasi muda, mahasiswa seyogyanya memiliki energi lebih untuk mengaktualisasikan banyak hal. Tak salah jika masyarakat banyak berharap pada anak muda, terutama mahasiswa. Tak bisa dimungkiri, banyak hal baru yang diinisiasi oleh anak muda, terutama mahasiswa yang diharapkan bisa menjadi solusi bagi permasalahan yang ada di masyarakat.
Semangat Mahasiswa! Semangat muda!

Editor : Adetya Nuzuliani Rahma

Sumber Referensi:
http://lh3.ggpht.com/

Santoso : Wartawan Jadi Social Entrepreneur

0 comments

Siapa bilang seorang jurnalis tidak mampu bersaing dengan para tokoh bisnis? Pelaku bisnis radio dan seorang wartawan media elektronik, Santoso, yang tercatat sebagai Managing Director Stasiun Radio KBR68H berhasil terpilih sebagai Ernst and Young Enterpreneur of The Year 2010 untuk kategori bidang sosial, "Social Entrepreneur".
Stasiun radio KBR68H bermodalkan awal US$300 ribu yang berasal dari bantuan Asian Foundation, MDLF, Kedutaan Belanda, dan lain sebagainya, dan awalnya berbentuk LSM dan pada tahun 2000 baru mulai berubah menjadi PT (Perseroan Terbatas).
"Perkembangannya stasiun radio ini cepat sekali, dulu hanya tujuh stasiun radio yang me-relay berita kami, sekarang sudah hampir 800 yang me-relay. Dan bukan hanya di Indonesia tetapi juga di 10 negara di Asia (Kamboja, Thailand, Myanmar, Filipina, Afganistan, Pakistan dan Bangladesh, Nepal dan Pakistan), karena kami juga memilki program untuk Asia," ujar Santoso.
Stasiun radio yang berdiri pada April 1999, bertempat di Utan Kayu ini memiliki misi yaitu menyediakan informasi yang baik pada masyarakat Indonesia melalui radio. Dengan mengedepankan program-program jurnalistik seperti berita, talk show, dan lain-lain.
Namun, agar program berita yang selama ini identik membosankan dikemas dengan membuat berita yang lebih menarik tanpa menghilangkan standar jurnalisme.
Santoso mejelaskan latar belakang lahirnya stasiun radio ini adalah karena melihat kekosongan yang terjadi pada pemberitaan melalui radio paska reformasi 1998. Saat era Orde Baru memang siaran berita melalui radio sangat dibatasi dan hanya RRI (Radio Republik Indonesia) saja yang boleh direlay oleh stasiun radio swasta. Namun ketika sudah reformasi dan adanya kebebasan dan keterbukaan informasi, momentum inilah yang ia jadikan awal untuk membuat program berita sendiri.
Sebelum menjadi seorang entrepreneur, Santoso adalah seorang wartawan dan tidak pernah terpikir menjadi seorang wirausaha. Namun, karena faktor melihat kebutuhan akan informasi itulah yang membuatnya memulai usaha ini. Tapi ia mengaku tetap ingin menjadi seorang wartawan, karena tetap memberikan informasi.

By: Adetya Nuzuliani

Sumber:
http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/190695-ini-wartawan-juara-ernst-and-young-2010

Aspek Yang Membangun Kewirausahaan Sosial

0 comments

Oleh : M Indra Anditya

Kewirausahaan sosial, pada beberapa kasus, kemunculannya dipelopori oleh seorang tokoh yang memiliki mimpi besar untuk menghasilkan kebermanfaatan bagi masyarakat. Namun demikian, pada perkembangannya, ketika gerakan tersebut sudah tumbuh menjadi besar, maka diperlukan tidak hanya aspek individu untuk menjaga kesinambungannya, melainkan juga aspek-aspek lain. Kewirausahaan sosial, menurut Paul C Light (2008) terbangun dari empat aspek yaitu (1) Kewirausahaan, (2) Ide/gagasan, (3) Peluang/kesempatan dan (4) Organisasi. Berikut ini adalah penjelasan masing-masingnya aspek tersebut.

A.    Kewirausahaan
Kewirausahaan merupakan aspek pertama dari konsep kewirausahaan sosial (social entrepreneurship). Hal ini menunjukkan bahwa kewirausahaan sosial tidak akan ada tanpa adanya kewirausahaan. Berbagai penelitian tentang karakteristik dari wirausaha telah sering dilakukan (Light, 2008:92), namun masih belum banyak bukti yang menggambarkan tentang prototipe kepribadian dari seorang wirausaha sosial. Ciputra (2009:19) menggambarkan kewirausahaan sebagai semangat untuk : (1) Menciptakan peluang, (2) Melakukan inovasi produk dan (3) Berani mengambil resiko yang terukur. Artinya, kewirausahaan dianggap sebagai sebuah pola pikir atau asumsi yang mendasari tingkah laku. MacGrath & McMillan (2000:3) menjelaskan bahwa wirausaha memiliki lima karakteristik umum yaitu: (1) Mereka sangat bersemangat dalam mencari peluang-peluang baru, (2) Mereka berusaha memanfaatkan peluang dengan disiplin yang kuat, (3) Mereka hanya mengejar peluang terbaik dan menghindari berlelah-lelah mengejar setiap alternatif, (4) Fokus pada eksekusi atu tindakan dan (5) membangkitkan dan mengikat energi setiap orang di wilayahnya. Maka, berdasarkan penjelasan dimuka, tampak bahwa beberapa penjelasan mengarah kepada pola pikir atau mindset. Mindset (Thornberry, 2006:46) secara sederhana didefinisikan sebagai :
“A way of thinking and acting that is entrepreneursial in nature and manifest itself in a number of outwardly observable behaviour. Unlike a trait, a mindset can be learned (modeled) by most people if they have desired to do so-and desires is the keyword.”
Maka berdasarkan uraian dimuka, pada penelitian ini, sisi kewirausahaan yang akan banyak dikupas adalah pada aspek pola pikir. Hal ini dilakukan karena salah satu pembeda individu wirausaha dan non-wirausaha adalah pada aspek pola pikirnya.
B.     Ide/Gagasan
Drayton (2002, dalam Light 2008:110) menyatakan bahwa tidak akan ada satu wirausaha tanpa sebuah gagasan yang sangat kuat, baru dan berpotensi mengubah sistem. Selanjutnya dikatakan bahwa wirausaha itu ada untuk memperjuangkan visinya agar menjadi pola baru dalam masyarakat. Artinya, gagasan adalah sesuatu yang vital bagi kegiatan kewirausahaan sosial itu sendiri. Masih terkait isu ide ini, Schwab Foundation for Social Entrepreneurship mendeskripsikan wirausaha sosial sebagai berikut :
“A practical but innovative stance to a social problem, often using market principles and forces, coupled with dogged determination, that allows them to break away form constraints imposed by ideology or field of discipline, and pushes them to take risks that others would’t dare”. (Light 2008:110).
Berangkat dari definisi dimuka dapat dikatakan bahwa kewirausahaan selalu ditandai dengan usaha pencarian gagasan, dimana terkadang menggunakan prinsip-prinsip pasar yang berlaku umum, dengan tujuan utama untuk mendobrak disiplin umum yang berlaku. Usaha pencarian gagasan tersebut terkadang juga disertai usaha pengambilan resiko yang tidak semua orang bersedia melakukannya. Sementara itu, masih terkait aspek ide dan gagasan ini, Skoll Foundation memberikan definisi terhadap wirausaha sosial sebagai beriku (Light, 2008:11) :
“Pionerr innovative, effective, sustainable approeaches to meet the needs of the marginalized, the disadvantage and the disenfranchised,” and, in doing so, create “ solution to seemingly intractable social problems, fundamentally improving the lives of countless individuals, as well as forever changing the way social systems operate.”
Tampak bahwa ide/gagasan yang dimaksud adalah bukan sekedar gagasan. Namun terkadung didalamnya unsur inovatif dan kejelian dalam melihat peluang perbaikan bagi mereka yang kurang beruntung dan potensi perbaikan bagi yang terkena masalah sosial. Artinya, perbedaannya dengan kewirausahaan biasa adalah gagasan yang berusaha diciptakan di ranah ini bertujuan untuk kebermanfaatan sosial, seperti pemenuhan kaum marjinal, mereka yang kurang beruntung maupun yang kurang memiliki akses-akses kesejahteraan.
C.    Peluang/Kesempatan
Berikut ini akan diuraikan lebih lanjut, terkait aspek peluang/kesempatan dari kewirausahaan sosial. Light (2008:120) menyatakan bahwa peluang mungkin merupakan terminologi yang paling membingungkan dalam pembelajaran kewirausahaan sosial, karena peluang sulit untuk dilihat dan juga tidak mudah untuk dieksploitasi. Peluang, kadang hanya terbersit di kepala wirausaha sosial, yang belum tentu dipahami oleh orang lain. Penjelasan selanjutnya dikemukakan oleh Jeffrey McMullen (2007 dalam Light 2008:120) yang menyatakan bahwa :
“There have been surprisingly few recent studies that explore the nature of opportunities..Indeed, scholars have yet to develop an integrated theoritical framework that explains the emergence and developmental of entrepreneurial opportunities. Without such a framework, little can be said about the relationship between opportunity, innovation and performance and the strategies that are neede to discover and exploit new opportunities.”
Peluang datang dalam berbagai bentuk, ukuran dan lokasi, dan terkadang disebut sebagai relasi antara kesempatan, inovasi dan kinerja (Dees 1998 dalam Light 2008:121). Berdasarkan uraian dimuka, tampak jelas bahwa para pegiat kewirausahaan sosial harus selalu bergelut dengan usaha untuk menemukan peluang-peluang baru, untuk dapat bertahan dan mengembangkan aktivitasnya.
D.    Organisasi
Unsur selanjutnya yang membentuk kewirausahaan sosial adalah organisasi. Organisasi disini adalah wadah bagi gerakan kewirausahaan sosial dan juga merupakan pengikat bagi pihak-pihak yang terlibat dalam upaya mengembangkan dan membuat kesinambungan dari praktik kewirausahaan sosial itu sendiri.
Berikut ini akan diuraikan unsur-unsur yang melekat pada aspek organisasi. Salah satu aspek utama organisasi adalah misi. Setiap organisasi memiliki misi. Misi, menyediakan bagi para pemimpin, penyumbang dana, pelanggan dan semua pihak yang terlibat dalam organisasi, pemahaman yang jelas tentang tujuan dan alasan berdirinya (Dees, dkk, 2001:19). Oleh karena itu, misi sangatlah penting bagi sebuah organisasi, termasuk yang bergerak di ranah kewirausahaan sosial. Berikut adalah penjelasan lebih detil tentang misi:
“Mission defines a direction, not a destinantion. It tells the members of an organization why they are working together, how they intend to contribute to the world. Without a sense of mission, there is no foundation for establishing why some intended result are more important than others. Mission instills both the passion and the patience for the long journey”. (Peter M. Senge, 1999 dalam Dess, dkk 2001:19).
Berdasarkan pemahaman dimuka dapat dikatakan bahwa misi merupakan otak dari organisasi yang memberikan pemahaman tentang mengapa orang-orang perlu bekerja bersama menuju suatu tujuan bersama. Dess (2001:20) menyatakan bahwa instrumen yang paling berguna bagi seorang wirausaha sosial adalah misi, karena misi menyuratkan definisi dan komunikasi yang jelas akan arah aktivitas yang dilakukan.
Pada konteks Indonesia, wadah organisasi bagi organisasi sektor ketiga (termasuk di dalamnya kewirausahaan sosial) memiliki beberapa bentuk, seperti diungkap oleh Maria Nindita (2011:1) berikut ini :
“There are many types of Third Sector Organization in Indonesia, such as yayasan (foundations), perkumpulan (associations), organisasimassa (mass organisations), serikatpekerja (trade unions), koperasi (co-operatives), and the newly proposed BadanHukumPendididkan (BHP) (educational legal entity).”


SUMBER :

http://innovation-thinking.blogspot.com/2013/11/things-that-build-social.html