Oleh : M Indra Anditya
Kewirausahaan sosial, pada beberapa
kasus, kemunculannya dipelopori oleh seorang tokoh yang memiliki mimpi besar
untuk menghasilkan kebermanfaatan bagi masyarakat. Namun demikian, pada
perkembangannya, ketika gerakan tersebut sudah tumbuh menjadi besar, maka
diperlukan tidak hanya aspek individu untuk menjaga kesinambungannya, melainkan
juga aspek-aspek lain. Kewirausahaan sosial, menurut Paul C Light (2008)
terbangun dari empat aspek yaitu (1) Kewirausahaan, (2) Ide/gagasan, (3)
Peluang/kesempatan dan (4) Organisasi. Berikut ini adalah penjelasan
masing-masingnya aspek tersebut.
A. Kewirausahaan
Kewirausahaan merupakan aspek pertama
dari konsep kewirausahaan sosial (social
entrepreneurship). Hal ini menunjukkan bahwa kewirausahaan sosial tidak
akan ada tanpa adanya kewirausahaan. Berbagai penelitian tentang karakteristik
dari wirausaha telah sering dilakukan (Light, 2008:92), namun masih belum
banyak bukti yang menggambarkan tentang prototipe kepribadian dari seorang
wirausaha sosial. Ciputra (2009:19) menggambarkan kewirausahaan sebagai
semangat untuk : (1) Menciptakan peluang, (2) Melakukan inovasi produk dan (3)
Berani mengambil resiko yang terukur. Artinya, kewirausahaan dianggap sebagai
sebuah pola pikir atau asumsi yang mendasari tingkah laku. MacGrath &
McMillan (2000:3) menjelaskan bahwa wirausaha memiliki lima karakteristik umum
yaitu: (1) Mereka sangat bersemangat dalam mencari peluang-peluang baru, (2)
Mereka berusaha memanfaatkan peluang dengan disiplin yang kuat, (3) Mereka
hanya mengejar peluang terbaik dan menghindari berlelah-lelah mengejar setiap
alternatif, (4) Fokus pada eksekusi atu tindakan dan (5) membangkitkan dan
mengikat energi setiap orang di wilayahnya. Maka, berdasarkan penjelasan
dimuka, tampak bahwa beberapa penjelasan mengarah kepada pola pikir atau
mindset. Mindset (Thornberry, 2006:46) secara sederhana didefinisikan sebagai :
“A way of
thinking and acting that is entrepreneursial in nature and manifest itself in a
number of outwardly observable behaviour. Unlike a trait, a mindset can be
learned (modeled) by most people if they have desired to do so-and desires is
the keyword.”
Maka berdasarkan uraian dimuka, pada
penelitian ini, sisi kewirausahaan yang akan banyak dikupas adalah pada aspek
pola pikir. Hal ini dilakukan karena salah satu pembeda individu wirausaha dan non-wirausaha adalah pada aspek pola pikirnya.
B.
Ide/Gagasan
Drayton (2002, dalam Light 2008:110)
menyatakan bahwa tidak akan ada satu wirausaha tanpa sebuah gagasan yang sangat
kuat, baru dan berpotensi mengubah sistem. Selanjutnya dikatakan bahwa
wirausaha itu ada untuk memperjuangkan visinya agar menjadi pola baru dalam
masyarakat. Artinya, gagasan adalah sesuatu yang vital bagi kegiatan kewirausahaan
sosial itu sendiri. Masih terkait isu ide ini, Schwab Foundation for Social Entrepreneurship mendeskripsikan
wirausaha sosial sebagai berikut :
“A practical
but innovative stance to a social problem, often using market principles and
forces, coupled with dogged determination, that allows them to break away form
constraints imposed by ideology or field of discipline, and pushes them to take
risks that others would’t dare”. (Light 2008:110).
Berangkat dari definisi dimuka dapat
dikatakan bahwa kewirausahaan selalu ditandai dengan usaha pencarian gagasan, dimana
terkadang menggunakan prinsip-prinsip pasar yang berlaku umum, dengan tujuan
utama untuk mendobrak disiplin umum yang berlaku. Usaha pencarian gagasan
tersebut terkadang juga disertai usaha pengambilan resiko yang tidak semua
orang bersedia melakukannya. Sementara itu, masih terkait aspek ide dan gagasan
ini, Skoll Foundation memberikan definisi terhadap wirausaha sosial sebagai
beriku (Light, 2008:11) :
“Pionerr
innovative, effective, sustainable approeaches to meet the needs of the
marginalized, the disadvantage and the disenfranchised,” and, in doing so,
create “ solution to seemingly intractable social problems, fundamentally
improving the lives of countless individuals, as well as forever changing the
way social systems operate.”
Tampak bahwa ide/gagasan yang dimaksud
adalah bukan sekedar gagasan. Namun terkadung didalamnya unsur inovatif dan
kejelian dalam melihat peluang perbaikan bagi mereka yang kurang beruntung dan
potensi perbaikan bagi yang terkena masalah sosial. Artinya, perbedaannya
dengan kewirausahaan biasa adalah gagasan yang berusaha diciptakan di ranah ini
bertujuan untuk kebermanfaatan sosial, seperti pemenuhan kaum marjinal, mereka
yang kurang beruntung maupun yang kurang memiliki akses-akses kesejahteraan.
C. Peluang/Kesempatan
Berikut ini akan diuraikan lebih
lanjut, terkait aspek peluang/kesempatan dari kewirausahaan sosial. Light
(2008:120) menyatakan bahwa peluang mungkin merupakan terminologi yang paling
membingungkan dalam pembelajaran kewirausahaan sosial, karena peluang sulit
untuk dilihat dan juga tidak mudah untuk dieksploitasi. Peluang, kadang hanya
terbersit di kepala wirausaha sosial, yang belum tentu dipahami oleh orang
lain. Penjelasan selanjutnya dikemukakan oleh Jeffrey McMullen (2007 dalam
Light 2008:120) yang menyatakan bahwa :
“There have
been surprisingly few recent studies that explore the nature of opportunities..Indeed,
scholars have yet to develop an integrated theoritical framework that explains
the emergence and developmental of entrepreneurial opportunities. Without such
a framework, little can be said about the relationship between opportunity,
innovation and performance and the strategies that are neede to discover and
exploit new opportunities.”
Peluang datang dalam berbagai bentuk,
ukuran dan lokasi, dan terkadang disebut sebagai relasi antara kesempatan,
inovasi dan kinerja (Dees 1998 dalam Light 2008:121). Berdasarkan uraian
dimuka, tampak jelas bahwa para pegiat kewirausahaan sosial harus selalu
bergelut dengan usaha untuk menemukan peluang-peluang baru, untuk dapat
bertahan dan mengembangkan aktivitasnya.
D. Organisasi
Unsur selanjutnya yang membentuk
kewirausahaan sosial adalah organisasi. Organisasi disini adalah wadah bagi
gerakan kewirausahaan sosial dan juga merupakan pengikat bagi pihak-pihak yang
terlibat dalam upaya mengembangkan dan membuat kesinambungan dari praktik
kewirausahaan sosial itu sendiri.
Berikut ini akan diuraikan unsur-unsur
yang melekat pada aspek organisasi. Salah satu aspek utama organisasi adalah
misi. Setiap organisasi memiliki misi. Misi, menyediakan bagi para pemimpin,
penyumbang dana, pelanggan dan semua pihak yang terlibat dalam organisasi,
pemahaman yang jelas tentang tujuan dan alasan berdirinya (Dees, dkk, 2001:19).
Oleh karena itu, misi sangatlah penting bagi sebuah organisasi, termasuk yang
bergerak di ranah kewirausahaan sosial. Berikut adalah penjelasan lebih detil
tentang misi:
“Mission
defines a direction, not a destinantion. It tells the members of an
organization why they are working together, how they intend to contribute to
the world. Without a sense of mission, there is no foundation for establishing
why some intended result are more important than others. Mission instills both
the passion and the patience for the long journey”. (Peter M. Senge, 1999 dalam
Dess, dkk 2001:19).
Berdasarkan pemahaman dimuka dapat
dikatakan bahwa misi merupakan otak dari organisasi yang memberikan pemahaman
tentang mengapa orang-orang perlu bekerja bersama menuju suatu tujuan bersama. Dess
(2001:20) menyatakan bahwa instrumen yang paling berguna bagi seorang wirausaha
sosial adalah misi, karena misi menyuratkan definisi dan komunikasi yang jelas
akan arah aktivitas yang dilakukan.
Pada konteks Indonesia, wadah
organisasi bagi organisasi sektor ketiga (termasuk di dalamnya kewirausahaan
sosial) memiliki beberapa bentuk, seperti diungkap oleh Maria Nindita (2011:1) berikut
ini :
“There are many types of Third
Sector Organization in Indonesia, such as yayasan (foundations), perkumpulan
(associations), organisasimassa (mass organisations), serikatpekerja (trade
unions), koperasi (co-operatives), and the newly proposed BadanHukumPendididkan
(BHP) (educational legal entity).”
SUMBER :
0 comments:
Posting Komentar