Makalah disajikan pada Pelatihan Pengembangan Masyarakat Bagi
Pengurus Forum Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Tingkat Propinsi se
Indonesia, Pusdiklat Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat Depsos RI, Jl. Dewi
Sartika No. 200, Jakarta, Rabu 28 Agustus 2002.
Oleh Edi Suharto
Pengembangan
Masyarakat (PM) adalah proses membantu orang-orang biasa agar dapat memperbaiki
masyarakatnya melalui tindakan-tindakan kolektif (Twelvetrees, 1991:1). Secara
akademis, PM dikenal sebagai salah satu metode pekerjaan sosial yang tujuan
utamanya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan
sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada prinsip partisipasi
sosial (Suharto, 1997:292). Menurut Johnson (1984), PM merupakan spesialisasi
atau setting praktek pekerjaan sosial yang bersifat makro (macro
practice).
PM
secara umum meliputi perencanaan, pengkoordinasian dan pengembangan berbagai
aktivitas pembuatan program atau proyek kemasyarakatan. Sebagai suatu kegiatan
kolektif, PM melibatkan beberapa aktor, seperti Pekerja Sosial, masyarakat
setempat, lembaga donor serta instansi terkait, yang saling berkerjasama mulai
dari perancangan, pelaksanaan, sampai evaluasi terhadap program atau proyek
tersebut (Suharto, 1997: 292-293).
Konsultasi Pemecahan Masalah
Konsultasi
pemecahan masalah tidak hanya dilakukan dengan profesi lain (dokter, guru),
melainkan dengan sistem klien lainnya. Konsultasi tidak pula hanya berupa
pemberian dan penerimaan saran-saran, melainkan merupakan proses yang ditujukan
untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai pilihan-pilihan dan
mengidentifikasi prosedur-prosedur bagi tindakan-tindakan yang
diperlukan. Pekerja sosial membagi secara formal pengetahuan dan
keterampilan yang dimilikinya, sedangkan klien membagi pengalaman personal,
organisasi atau kemasyarakatan yang pernah diperoleh semasa hidupnya. Dalam
proses pemecahan masalah, pendampingan sosial dapat dilakukan melalui
serangkaian tahapan yang biasa dilakukan dalam praktek pekerjaan sosial pada
umumnya, yaitu: pemahaman kebutuhan, perencanaan dan penyeleksian program,
penerapan program, evaluasi dan pengakhiran.
PERANAN PEKERJA SOSIAL: MODEL DAN STRATEGI
Paradigma
generalis dapat memberi petunjuk mengenai fungsi kegiatan-kegiatan pembimbingan
sosial serta menunjukkan peranan-peranan dan strategi-strategi sesuai dengan
fungsi tersebut. Mengacu pada Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994), ada
beberapa peran pekerjaan sosial dalam pembimbingan sosial. Lima peran di bawah
ini sangat relevan diketahui oleh para pekerja sosial yang akan melakukan
pembimbingan sosial.
Fasilitator
Dalam
literatur pekerjaan sosial, peranan “fasilitator” sering disebut sebagai
“pemungkin” (enabler). Keduanya bahkan sering dipertukarkan satu-sama lain.
Seperti dinyatakan Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994:188), “The
traditional role of enabler in social work implies education, facilitation, and
promotion of interaction and action.” Selanjutnya Barker (1987) memberi
definisi pemungkin atau fasilitator sebagai tanggungjawab untuk membantu klien
menjadi mampu menangani tekanan situasional atau transisional.
Strategi-strategi
khusus untuk mencapai tujuan tersebut meliputi: pemberian harapan, pengurangan
penolakan dan ambivalensi, pengakuan dan pengaturan perasaan-perasaan,
pengidentifikasian dan pendorongan kekuatan-kekuatan personal dan asset-asset
sosial, pemilahan masalah menjadi beberapa bagian sehingga lebih mudah
dipecahkan, dan pemeliharaan sebuah fokus pada tujuan dan cara-cara
pencapaiannya (Barker, 1987:49).
Broker
Dalam
pengertian umum, seorang broker membeli dan menjual saham dan surat berharga
lainnya di pasar modal. Seorang beroker berusaha untuk memaksimalkan keuntungan
dari transaksi tersebut sehingga klien dapat memperoleh keuntungan sebesar
mungkin. Pada saat klien menyewa seorang broker, klien meyakini bahwa broker
tersebut memiliki pengetahuan mengenai pasar modal, pengetahuan yang diperoleh
terutama berdasarkan pengalamannya sehari-hari. Dalam proses pendampingan
sosial, ada dua pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki pekerja
sosial:
·
Pengetahuan dan keterampilan melakukan asesmen kebutuhan masyarakat (community
needs assessment), yang meliputi: (a) jenis dan tipe kebutuhan, (b) distribusi
kebutuhan, (c) kebutuhan akan pelayanan, (d) pola-pola penggunaan pelayanan,
dan (e) hambatan-hambatan dalam menjangkau pelayanan (lihat makalah penulis
mengenai metode dan teknik pemetaan sosial untuk mengetahu cara-cara
mengidentifikasi masalah dan kebutuhan masyarakat).
·
Pengetahuan dan keterampilan membangun konsorsium dan jaringan antar
organisasi. Kegiatan ini bertujuan untuk: (a) memperjelas kebijakan-kebijakan
setiap lembaga, (b) mendefinisikan peranan lembaga-lembaga, (c) mendefinisikan
potensi dan hambatan setiap lembaga, (d) memilih metode guna menentukan
partisipasi setiap lembaga dalam memecahkan masalah sosial masyarakat, (e)
mengembangkan prosedur guna menghindari duplikasi pelayanan, dan (f)
mengembangkan prosedur guna mengidentifikasi dan memenuhi kekurangan pelayanan
sosial.
Mediator
Pekerja
sosial sering melakukan peran mediator dalam berbagai kegiatan pertolongannya.
Peran ini sangat penting dalam paradigma generalis. Peran mediator diperlukan
terutama pada saat terdapat perbedaan yang mencolok dan mengarah pada konflik
antara berbagai pihak. Lee dan Swenson (1986) memberikan contoh bahwa pekerja
sosial dapat memerankan sebagai “fungsi kekuatan ketiga” untuk menjembatani
antara anggota kelompok dan sistem lingkungan yang menghambatnya.
Kegiatan-kegiatan
yang dapat dilakukan dalam melakukan peran mediator meliputi kontrak perilaku,
negosiasi, pendamai pihak ketiga, serta berbagai macam resolusi konflik. Dalam
mediasi, upaya-upaya yang dilakukan pada hakekatnya diarahkan untuk mencapai
“solusi menang-menang” (win-win solution). Hal ini berbeda dengan peran sebagai
pembela dimana bantuan pekerja sosial diarahkan untuk memenangkan kasus klien
atau membantu klien memenangkan dirinya sendiri.
Pembela
Dalam
praktek PM, seringkali pekerja sosial harus berhadapan sistem politik dalam
rangka menjamin kebutuhan dan sumber yang diperlukan oleh klien atau dalam
melaksanakan tujuan-tujuan pendampingan sosial. Manakala pelayanan dan
sumber-sumber sulit dijangkau oleh klien, pekeja sosial haru memainkan peranan
sebagai pembela (advokat). Peran pembelaan atau advokasi merupakan salah satu
praktek pekerjaan sosial yang bersentuhan dengan kegiatan politik.
Peran
pembelaan dapat dibagi dua: advokasi kasus (case advocacy) dan advokasi kausal
(cause advocacy) (DuBois dan Miley, 1992; Parsons, Jorgensen dan Hernandez,
1994). Apabila pekerja sosial melakukan pembelaan atas nama seorang klien
secara individual, maka ia berperan sebagai pembela kasus. Pembelaan kausal
terjadi manakala klien yang dibela pekerja sosial bukanlah individu melainkan
sekelompok anggota masyarakat.
Pelindung
Tanggungjawab
pekerja sosial terhadap masyarakat didukung oleh hukum. Hukum tersebut
memberikan legitimasi kepada pekerja sosial untuk menjadi pelindung (protector)
terhadap orang-orang yang lemah dan rentan. Dalam melakukan peran sebagai
pelindung (guardian role), pekerja sosial bertindak berdasarkan kepentingan
korban, calon korban, dan populasi yang berisiko lainnya. Peranan sebagai
pelindung mencakup penerapan berbagai kemampuan yang menyangkut: (a) kekuasaan,
(b) pengaruh, (c) otoritas, dan (d) pengawasan sosial.
By:
Danis Dea Rizky
0 comments:
Posting Komentar