Mita Sirait : mengangkat ekonomi masyarakat dengan sampah

Mita Sirait
Mulai dari masyarakat miskin di sekitarnya, Mita Sirait menyalurkan pengetahuan daur ulang sampah dan mengolahnya menjadi produk siap pakai bernilai tinggi. Tiga tahun berselang, keluarga-keluarga miskin pengolah sampah ini sudah bisa mencapai penghasilan dua kali lipat dari mulanya Rp 250.000 per kepala keluarga.
Tahun 2008, Mita Sirait mengumpulkan beberapa penduduk di Pondok Kelapa, Jakarta Timur di dekat rumahnya. Ia memberi pelatihan pengolahan sampah kepada penduduk miskin di Pondok Kelapa, mulai dari pemilihan sampah yang bisa didaur ulang hingga mengolahnya menjadi berbagai produk yang bernilai tinggi.
Mulai dari lingkungan sekitar rumah, Mita kini sudah membina lebih dari 300 kepala keluarga tak hanya di Jakarta, tapi juga di Tangerang dan Jawa Timur. Binaan ini memiliki tugas yang berbeda-beda, mulai dari mengumpulkan sampah, memilah antara sampah organik dan non-organik, hingga proses produksi menjadi barang siap pakai.
Lewat Komunitas Daur Ulang, Mita dan para mitranya menjual berbagai produk hasil limbah dengan harga antara Rp 15.000 hingga Rp 350.000 per unit. Produk yang paling digemari antara lain tas laptop dan tas sekolah. "Kami bisa melayani hingga 300 tas per bulan," kata perempuan kelahiran 16 Juli 1977 ini.
Keterlibatan Mita dalam pengolahan sampah sudah dimulai sejak lama. Setelah menamatkan kuliah dari jurusan Geografi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, perempuan angkatan 1996 ini sem pat bekerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pengembangan Anak di Bandung selama dua tahun. Di sini, ia sebenarnya sudah memiliki ketertarikan untuk menanggulangi permasalahan sampah yang juga menjadi masalah besar di Kota Kembang tersebut.
Mita meyakini permasalahan ini tidak bisa mengandalkan pihak pemerintah saja, melainkan harus ada keterlibatan dari level grass root atau masyarakat lapisan bawah. Dengan kerja sama pemerintah dan masyarakat, lambat laun pasti masalah sampah bakal teratasi.
Pada tahun 2006, ia memutuskan untuk bergabung dengan sebuah LSM yang bergerak di bidang lingkungan, Emmanuel Foundation. Namun, pada tahun 2008, Mita memutuskan untuk lebih fokus pada sampah sedangkan lembaga tersebut tetap pada masalah lingkungan secara umum. Meski pun tidak berseberangan dengan LSM tersebut, Mita ingin lebih spesifik menggarap masalah sampah.
Ia pun mulai fokus mengembangkan para binaannya untuk serius mengelola sampah-sampah yang ada di sekitar mereka. "Saya ingin mereka bisa mandiri secara ekonomi sekaligus ikut menjaga kebersihan lingkungan," ujarnya.
Salah satu peristiwa yang membuat hati Mita miris adalah ketika ia melihat langsung kondisi penduduk di sekitar Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang melakukan aktivitas dengan menggunakan air dari Sungai Cisadane yang kotor. "Mereka tidak mempunyai akses terhadap air bersih, padahal jaraknya tidak jauh dari gerbang internasional Jakarta," tambahnya.
Mita berpartisipasi aktif dari awal hingga akhir dalam proses pengolahan sampah plastik menjadi barang-barang dengan nilai ekonomi tinggi. Ia menyalurkan pengetahuan dan pelatihan berkenaan dengan jenis-jenis plastik, manfaat sampah, dan efek samping terhadap kehidupan. Mita pun menekankan pentingnya penggunaan air bersih dalam kehidupan sehari-hari.
Selain ikut dalam proses produksi, Mita juga membantu dalam interaksi dengan pasar hingga proses penjualan lewat berbagai relasi yang dimilikinya. Alhasil produk-produk mitra binaannya sudah sempat mencapai ekspor ke Amerika Serikat, Australia dan Malaysia.
Namun, karena adanya kebijakan program pengurangan emisi karbon, Mita memilih untuk memfokuskan penjualan produk-produk daur ulang binaannya ke dalam negeri saja. "Biar semakin populer dulu di dalam negeri," tegasnya.
Kemampuan Mita untuk mengembangkan masyarakat dengan bahan sampah tidak lepas dari bekal ilmu yang ia peroleh semasa duduk di bangku kuliah. Di jurusan geografi, Mita mengaku seperti memperoleh dua ilmu sekaligus yakni ilmu eksakta dan ilmu sosial. 
Ilmu eksakta berupa bagaimana mengenal alam beserta unsur-unsur pendukungnya sedangkan ilmu sosial mempelajari bagaimana berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Jadi ia bisa menggunakan kedua ilmunya untuk mengembangkan taraf hidup masyarakat dan pengelolaan lingkungan.
Kemampuannya untuk menjalin relasi bisnis dengan para pelanggan juga ia peroleh dari pengalaman berbisnis selama kuliah. Di Yogyakarta, sambil kuliah Mita membuka tiga gerai penjualan telepon seluler beserta aksesorinya. Mita saat itu sudah memiliki sembilan karyawan. Namun, karena ingin fokus menyelesaikan skripsi, ia memutuskan untuk meninggalkan usahanya tersebut.
Saat ini, Mita sudah memiliki lima pusat pengolahan sampah yang ada di Jakarta dan Tangerang. Dengan cara ini, Mita telah menciptakan sumber pendapatan baru.
Para keluarga yang tadinya hanya punya penghasilan Rp 250.000 sebulan, setelah mengikuti proyek daur ulang ini bisa mendapatkan penghasilan dua kali lipat. Pada saat yang sama, keluarga-keluarga itu dapat mengolah sampah dan hidup sehat dengan penggunaan air bersih.
Mita sering harus merogoh kocek sendiri untuk menutup pengeluaran. Beruntung ia juga bekerja sebagai konsultan independen di lembaga yang didirikannya, Water, Sanitation, Hygiene (WASH). "Untuk hasil maksimal, kami memang harus berkorban tenaga, pikiran dan uang," ujarnya tanpa mengeluh. 

Edited by: Yasmin Anwar

Sumber: http://peluangusaha.kontan.co.id/news/mita-mengangkat-ekonomi-masyarakat-dengan-sampah-1 diakses 11 desember 2014 pukul 13:05

0 comments:

Posting Komentar