Kamto Wahyono : Menyelamatkan Mangrove Lewat Mas Jamang

0 comments

Jamang adalah singkatan dari Jajanan Mangrove. Mangrove dijadikan jajanan? Mungkin banyak yang masih asing dengan jajanan ini. Namun ternyata kandungan gizi, terutama karbohidrat pada buah-buah mangrove, berhasil diteliti dan dikembangkan Kamto Wahyono menjadi sebuah jajanan yang bergizi dan layak konsumsi. 
Kamto “Mas Jamang” Wahyono, seorang wirausahawan muda yang sukses mengembangkan berbagai jenis buah mangrove menjadi jajanan mangrove yang lezat, dengan brand Mas Jamang. Mas Jamang lahir dari sebuah program CSR perusahaan di Semarang, yaitu PT. Indonesia Power, yang bekerjasama dengan KeSEMaT, dengan tujuan untuk mengkampanyekan dan melestarikan ekosistem mangrove yang ada di Semarang, dari tingkat kerusakan yang terus menerus terjadi.
Mas Jamang ini membidik fungsi ekonomi mangrove karena warga Semarang ternyata sudah tidak mempan lagi apabila dibidik dengan fungsi ekologis dan fisik mangrove. Menurut Kamto, tujuan utama pengembangan jajanan mangrove adalah untuk mengkampanyekan mangrove secara lebih bijaksana, yaitu dengan cara membuat kebun mangrove. Di kebun mangrove, kelompok binaan Mas Jamang membibitkan, menanam, memelihara, memetik dan terus membudidayakannya, bukan menebang dan merusaknya.
Konsep ini ternyata efektif. Warga secara otomatis membudidayakan mangrove karena sudah mengetahui fungsi ekonominya yang bisa meningkatkan taraf penghidupan dan mata pencaharian keluarga mereka. Warga tak lagi menebang mangrove. Mereka sudah tahu, buah mangrove jenis Lindur dan Api-api yang ada di kebun mangrove mereka bisa dipanen dan dipetik untuk dibuat dan dijual dalam bentuk jajanan mangrove.
Omset penjualan Mas Jamang, ternyata juga cukup besar. Saat ini, dua kelompok binaan Mas Jamang, yaitu Kelompok Bina Citra Karya Wanita dan Bina Karya Sejahtera, yang terdiri dari para istri nelayan dan petani mangrove di Mangkang Wetan dan Mangunharjo, sudah berhasil memperoleh keuntungan.
“Kini tak ada lagi warga yang berkata, apakah mangrove bisa menghidupi kami, kami butuh makan. Mas Jamang, setidaknya adalah sebuah jawaban yang bijak, dalam rangka menghidupi warga pesisir, sekaligus sebagai salah satu upaya dalam rangka menjaga keberadaan mangrove, demi kelestariannya di masa mendatang,” ujar owner Mas Jamang
Memang, untuk menyelamatkan mangrove, dibutuhkan sebuah terobosan baru. Dan, Kamto “Mas Jamang” Wahyono, ternyata telah berhasil membuat terobosan baru itu.

By : Darastri Latifah

Sumber : http://www.mangrovemagz.com/index.php/mangrover/tokoh/119-kamto-mas-jamang-wahyono-wirausahawan-muda-pengolah-buah-mangrove

Etty Lasmini : Berdaya Bersama Ex Narapidana

0 comments

Etty Lasmini
Etty Lasmini. Sehari-hari beliau dikenal dengan wirausahawati kerupuk kulit yang mempekerjakan mantan narapidana, bekas pemakai narkoba. Dengan tujuan agar para ex narapidana ini tidak kembali mengulangi perbuatannya maka Ibu Etty menampung mereka sebagai pekerja. 
Walau sempat dianggap orang kurang kerjaan dan kurang waras nyatanya bisnis yang Ibu Etty rintis dengan memperkerjakan mantan narapidana ini tetap sukses. Jika diuangkan, omsetnya mencapai 900jt perbulan
Menurut beliau para ex narapidana dan pengguna narkoba yang ada di wilayahnya, mereka memiliki keinginan untuk sembuh walaupun masih terdapat beberapa di antara mereka yang masih belum bisa sepenuhnya lepas dari pengaruh narkoba, maka dengan adanya usaha kerupuk kulit ini berarti ikut serta memfasilitasi mereka ke kegiatan yang lebih positif agar tidak terjerumus kembali ke masa lalu mereka. Menurut beliau para ex narapidana dan pengguna narkoba yang ada di wilayahnya, mereka memiliki keinginan untuk sembuh walaupun masih terdapat beberapa di antara mereka yang masih belum bisa sepenuhnya lepas dari pengaruh narkoba, maka dengan adanya usaha kerupuk kulit ini berarti ikut serta memfasilitasi mereka ke kegiatan yang lebih positif agar tidak terjerumus kembali ke masa lalu mereka. 
Penghasilan dari memproduksi kulit sebenarnya sudah sangat lumayan, tapi Ibu Etty bukan tipe wirausahawati yang suka menumpuk kekayaan dan harta sendirian, ia lebih suka jika bisa menikmatinya bersama dengan mitra dan warga yang disekitarnya Usaha yang dirintis sejak 1990 ini diberi nama kerupuk kulit Arizma. Bidang pemasaran dan pengolahan masih skala home industry, namun penjualannya sudah menembus pasar internasional dan retail.

Edited by : Lina Lisnawati

Sumber : http://sea-dd.com/?p=261 

Wisata dan Kewirausahaan Sosial

0 comments

Kawasan wisata akan menjadi lebih menarik bila dikembangkan dengan pendekatan wirausaha sosial.
Indonesia berpotensi besar mengembangkan kewirausahaan sosial. Idenya, suatu kawasan wisata bisa dikelola oleh masyarakat atau komunitas, sesuai dengan kekhasan dan kearifan lokal, bukan oleh pengusaha atau pemegang modal.
Masalahnya, tidak semua komunitas juga memiliki kepercayaan diri atau cukup pengetahuan untuk mengembangkan kewirausahaan sosial.
Kewirausahaan sosial bukanlah konsep baru. Sejak lama, komunitas di dunia—khususnya di Inggris—memulainya di segala lini. Bidang usaha yang semula dipegang oleh swasta, kemudian dipegang oleh komunitas.
Berbekal konsep ini, komunitas menyelesaikan masalah dunia menggunakan solusi lokal. Dalam kewirausahaan sosial yang lebih dipentingkan adalah pemberdayaan berkelanjutan. Komunitas itu harus mempertanggungjawabkan dukungan dan donasi yang diterimanya, tanpa perlu terus-menerus dipantau oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Beberapa contoh komunitas yang terbilang cukup berhasil mencetuskan inovasi dari segi pengembangan dan pengelolaan produk atau jasanya, antara lain Komunitas Kasepuhan Ciptagelar di Halimun dan Komunitas Hong di Bandung.
Kasepuhan Ciptagelar terbilang sukses melestarikan alam. Mereka mengajak masyarakat setempat dan pengunjung menanam pohon dan mengikuti ritual tradisi yang dipersembahkan bagi alam. Hebatnya, komunitas ini merangkul teknologi. Mereka kemudian memiliki stasiun radio dan televisi sendiri, akses internet WiFi, dan pembangkit listrik tenaga air (tidak bergantung pada PLN).
Bayangkan jika sejak awal Bali dikelola dengan konsep kewirausahaan sosial ini. Mungkin budayanya masih lebih terawat. Isu air, tanah, dan sampah di Bali mungkin tidak akan seperti sekarang.
Sayangnya banyak tempat di Bali dan Lombok yang telanjur diambil alih pemegang modal. Masyarakat desanya malah tersingkir. Kalau pun mereka dilibatkan ya, mendapat porsi bawah sebagai pekerja bukan pengelola—apalagi pemilik.
Padahal sektor pariwisata akan menjadi area menarik bila dikemas dengan konsep kewirausahaan sosial yang lebih sesuai karakter lokal.

Edited by : Indah Permata Darma

Sumber : http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/02/wisata-dan-wirausaha-sosial

Mahrizal Paru : Wirausaha Sosial Kakao Aceh

0 comments

Mahrizal Paru
Profil
Besar dari coklat dan kemudian membesarkan orang lain lewat coklat. Itulah Mahrizal. Pria berumur 28 tahun (20 Oktober 1981) itu lahir dari keluarga petani coklat di Desa Paru, Kabupaten Pidie, Aceh. Dari hasil tanaman coklat, ayahnya, M Ismail, sanggup menyekolahkan Mahrizal dan tiga adiknya. Termasuk membiayai S2 Mahrizal di International Islamic University di Malaysia.
Sayangnya, nasib petani coklat seperti keluarga Mahrizal tidak diikuti oleh banyak petani lainnya. Setelah konflik Aceh reda, pada tahun 2005 angka pengangguran meningkat. Ladang coklat yang dulu banyak digarap telah lama ditinggalkan. Saat kondisi Aceh masih genting sebagian besar penduduk Pidi terpaksa mengungsi meninggalkan ladang coklat mereka.
Pasca-perdamaian Aceh satu-satunya mata pencarian yang mungkin dan cepat adalah menjadi penjual kayu. Demi memberi makan keluarga, mereka menebang habis pohon di ladang coklat yang tidak terawat.
Mahrizal prihatin. Dalam batinnya ia berpikir pasti ada sesuatu yang bisa dilakukan untuk memperbaiki nasib mereka. ''Sebenarnya mereka memiliki lahan, cuma tidak terurus,'' kata Mahrizal. 

Menanam kembali
Dari modal lahan, Mahrizal berpikir untuk membentuk sebuah komunitas yang pada akhirnya sanggup menggerakkan kembali roda ekonomi melalui tanaman coklat. Bersama Yayasan Tunas Bangsa, sebuah organisasi nirlaba yang dipimpinnya, Mahrizal memulai program menanami kembali ladang coklat.
Program pertama dimulai tahun 2006. Sekitar 300 orang petani diajaknya untuk menggarap lahan seluas 280 hektar. Mereka adalah petani dari Desa Parugede, Sarahpanyang, dan Alue, di Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya. Selama delapan bulan mereka diikutkan dalam program. ''Mulai dari pembibitan, pelatihan, sampai membuat pupuk organik,'' kata Mahrizal.
Sebelumnya pemerintah setempat pernah pula memberikan program yang sama untuk para petani. Bedanya, kata Mahrizal, tidak pernah ada pengawasan dari pemerintah. Akibatnya, banyak petani yang justru menjual pupuk atau bibit yang diberikan pemerintah. Ladang pun tetap terbengkalai.

Petani serius
Dalam programnya Mahrizal berprinsip bahwa hanya petani yang serius ingin berubah yang akan dibantunya. ''Kalau kami mengecek ke lapangan dan tidak menemukan pagar di ladang atau tidak ada lubang galian, maka kami tidak memberi bibit coklat ke mereka,'' paparnya.
Sistem pengawasan Mahrizal terbukti efektif. Terlebih, menanam ladang coklat bukan hanya merehabilitasi lahannya. Tanaman coklat membutuhkan tanaman pelindung. Tanaman itu sekaligus berfungsi sebagai penahan erosi dan penyerap karbondioksida.
Dalam satu hektare ladang coklat membutuhkan sekitar 200 pohon pelindung. Daun dari pohon pelindung lalu dapat dijadikan pakan kambing. Sementara kotoran kambing bermanfaat sebagai pupuk.
Ketika siklus tersebut berjalan petani sanggup menjual 1,5 sampai dua ton coklat dari satu hektar ladang. Setiap kilogram coklat laku seharga Rp 22 ribu. Artinya 1,5 ton coklat menghasilkan pendapatan sebesar Rp 33 juta. ''Kalau dibagi 12 bulan, jumlahnya lebih besar dari UMR DKI Jakarta yang mencapai Rp 1 juta per bulan,'' terang Mahrizal.
Jumlah itu tergolong cukup bagi petani di sana. ''Mereka sekarang ada yang mulai beli motor dan memperbaiki rumahnya,'' jelasnya. 

Buah usaha 
Usaha Mahrizal berbuah manis. Anggota desa yang sebelumnya kesulitan kerja sanggup meraup total pendapatan hingga 700 ribu dolar per tahun sekaligus melindungi hutan yang sebelumnya menjadi korban jarahan. Kepala desa tetangga bahkan menyambangi Mahrizal meminta supaya desanya disertakan dalam programnya. Bagi Mahrizal itulah bukti keberhasilannya. ''Kalau mereka sukses, saya merasa sukses,'' sambungnya.
Akhir tahun 2008  Mahrizal menjadi peserta pelatihan manajerial dan kepemimpinan dalam bidang perubahan iklim yang diselenggarakan British Council di Bogor. Tanpa disangka di awal bulan ini British Council menghubungi Mahrizal dan memberi kabar baik. Mahrizal terpilih sebagai juara dalam kategori pewirausaha sosial di bidang perubahan iklim atau champion entrepreneur for environment.

By : Anis Soraya

Sumber : http://www.republika.co.id/koran/14/40620/Mahrizal_Menghidupkan_Coklat_Aceh
Gambar : http://mahrizalparu.blogspot.com/2010_12_01_archive.html

Kamilus Tupen : Mantan TKI Pegiat Kewirausahaan Sosial dari NTT

5 comments

Kamilus Tupen adalah seorang mantan TKI yang sebelumnya bekerja di Malaysia yang kemuadian menjadi petani dan warga Kampung (Lewo) Honihama, desa Tuwagoetobi, kecamatan Witihama, Adonara, NTT. Namanya mulai dikenal di tingkat nasional setelah kelompok tani yang dibidani dan dipimpinnya, yaitu Kelompok Tani Lewowerang (KTL), berhasil meraih penghargaan Kusala Swadaya. Kusala Swadaya adalah penghargaan di bidang kewirausahaan sosial yang diadakan Yayasan Bina Swadaya di Jakarta. KTL anggotanya memang kebanyakan para petani, tetapi KTL bukanlah  kelompok tani biasa sebagaimana yang kita kenal. KTL adalah sebuah inovasi dari seorang Kamilus Tupen yang punya komitmen kuat untuk memberikan solusi atas persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang dihadapi masyarakat kampung. KTL merupakan badan usaha yang dimiliki secara kolektif oleh masyarakat. Sebagai badan usaha rakyat, KTL menerapkan sistem ekonomi yang dilandasi nilai-nilai kerjasama dan solidaritas antar warga. Melalui dan bersama KTL, Kamilus mengoreksi sistem ekonomi modern yang melahirkan banyak penderitaan dalam masyarakat. Dengan itu ia sekaligus membuktikan bahwa sistem ekonomi alternatif itu mungkin.
Kamilus Tupen
Kamilus Tupen, 49 tahun, seorang petani berpendidikan SMA yang tidak pernah menikmati layanan pendidikan bagi calon TKI – sebagaimana dialami para calon TKI asal NTT pada umumnya – justru mampu menjadikan dirinya sebagai TKI pembelajar dan membebaskan warga kampungnya dari ekonomi perbudakan. Bahkan Kamilus bukan hanya menjadi TKI pembelajar. Ia juga adalah TKI pejuang yang turut membangun peradaban bangsanya. Salah satu prestasinya adalah ia berhasil membuat banyak warga di daerahnya berhenti menjadi TKI. Bersama kaum muda di kampungnya, ia membangun usaha bersama yang dimiliki bersama dengan tujuan untuk kesejahteraan bersama. Ia juga berhasil mengembangkan sistem ekonomi berbasis kerjasama dan solidaritas, dengan bertolak dari tradisi gemohing (tolong menolong) yang berlaku di kampungnya. Berangkat dari kearifan lokal itulah ia mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi para petani di kampungnya.
 Tahun 2001 Kamilus memutuskan berhenti menjadi TKI. Ia merasa, selama bekerja sebagai TKI ia menjalani kehidupan yang palsu. Hidupnya hanya terfokus untuk mengejar uang. Potensinya sebagai pribadi, sebagai manusia utuh sama sekali tidak tergali.
Tahun 2004 Kamilus memutuskan untuk fokus menggarap lahan dan menjadi petani. Ia menanam ubi kayu dan kacang tanah. Oleh para warga di kampungnya ia diejek dan dianggap tidak tahu cara bertani. Namun pada saat panen, warga berubah pikiran dalam menilai Kamilus. Kamilus mampu menunjukkan bahwa hasil produksi ubi kayunya jauh di atas produksi ubi kayu yang dihasilkan warga.
Pada Maret 2010, sekelompok anak muda mendatangi Kamilus dan mengajaknya mengembangkan gagasan yg dulu pernah disampaikan Kamilus pada mereka. Saat itu Kamilus tidak menganggap serius permintaan anak-anak muda itu. Ia merespon ajakan anak-anak muda itu dengan meminta mereka mengumpulkan sedikitnya 30 orang. Kalau mereka berhasil mengumpulkan 30 orang, ia bersedia memenuhi ajakan mereka. Kalau tidak tersedia 30 orang yang ia persyaratkan, maka ia menganggap ide tentang badan usaha rakyat  dan sistem ekonomi solidaritas belum waktunya untuk dijalankan.
Ia mengajak setiap orang mengumpulkan Rp 100 ribu untuk simpanan pokok. Dalam waktu dua minggu, ada 70 orang yang mendaftar untuk bergabung dan terkumpullah tujuh juta rupiah sebagai modal. Sejak saat itu pula terbentuklah Badan Usaha Rakyat dengan nama “Kelompok Tani Lewowerang” (KTL), yang menjalankan usaha simpan pinjam tenaga kerja.
Usaha simpan pinjam tenaga kerja dijalankan dengan memadukan antara tradisigemohing (kerja saling membantu/tolong menolong) dan koperasi kredit. Para anggota KTL membayar simpanan pokok sebesar Rp 100.000 dan simpanan wajib sebesar Rp 10.000 per bulan. Simpanan pokok dan simpanan wajib ini bisa dibayar dengan uang tunai atau dengan tenaga kerja. Warga yang menjadi anggota dapat meminjam dana dari KTL untuk memenuhi kebutuhannya, misalnya untuk mengolah lahan, membangun rumah, mengurus kebun, dan berbagai bentuk kegiatan ekonomi yang membutuhkan dana dan tenaga kerja. Dana yang dipinjam anggota dari KTL dikembalikan dalam waktu empat bulan. Peminjam dikenakan bunga sebesar 2 (dua) persen.
Bedanya dengan koperasi kredit, pinjaman anggota pada KTL tidak diberikan dalam bentuk uang tunai melainkan dalam bentuk voucher. Sekadar contoh, seorang anggota KTL meminjam dana untuk membangun rumah. KTL memberikan voucherpada anggota tersebut senilai jumlah dana yang dibutuhkan untuk membangun rumah. Dalam hal ini anggota yang meminjam dana untuk membangun rumah tersebut berperan sebagai “majikan”, yang akan membayar para buruh yang melakukan kerja gemohing membangun rumahnya. Para buruh yang dipekerjakan ini adalah sesama anggota KTL. Para buruh ini dibayar oleh majikan tidak dengan uang tunai melainkan dengan voucher yang diterimanya dari KTL. Para buruh selanjutnya akan menukarkan voucher tersebut dengan uang tunai pada KTL. Penukaran voucher dilakukan pada saat pertemuan KTL, yang diadakan pada setiap hari minggu.
Anggota yang meminjam dana dari KTL bisa mengembalikan pinjamannya dalam bentuk uang tunai atau bisa juga dengan tenaga kerja. Ini berarti, semua anggota KTL bisa berperan sebagai majikan dan sekaligus buruh. Di satu kegiatan (membangun rumah misalnya), seorang anggota KTL bisa berperan sebagai majikan yang membayar buruh dengan voucher, dan di kegiatan lain (mengolah lahan, misalnya) anggota yang sama bisa berperan sebagai buruh yang menerimavoucher. Voucher yang diterima saat anggota tersebut menjadi buruh bisa digunakan untuk membayar pinjaman. Para anggota KTL yang berperan sebagai buruh dan melakukan kerja gemohing dihargai atau dibayar sebesar Rp 5.000 per jam untuk pekerja biasa dan Rp 6.000 per jam untuk pekerja trampil. Sesuai kesepakatan, para pekerja perempuan dihargai Rp 4.000 per jam. Sebab dalam kerja gemohing, perempuan melakukan kerja-kerja yang dinilai lebih ringan dari kerja-kerja yang dilakukan para lelaki. Dalam hal ini KTL menerapkan sistem upah imbang kerja, di mana pekerjaan yang sama mendapatkan upah yang sama.
Selain menyediakan layanan simpan pinjam tenaga kerja, KTL juga memberikan beberapa layanan lain, di antaranya: 1) penyertaan modal usaha. KTL tidak memberikan pinjaman untuk investasi. Apabila ada anggota KTL yang membuka usaha dan membutuhkan tambahan modal, KTL memberikan dukungan dalam bentuk modal penyertaan dan asistensi manajemen agar usaha anggota ini lebih berpeluang untuk sukses. Dengan sistem modal penyertaan ini, maka usaha seorang anggota KTL menjadi usaha kolektif; 2) pembelian komoditi anggota. Anggota KTL kini tidak memiliki kesulitan untuk menjual hasil produksinya dengan harga pantas. Mereka bisa menjualnya langsung pada KTL,  dengan harga lebih tinggi dari harga yang ditawarkan tengkulak. Keuntungan dari penjualan komoditi anggota oleh KTL ini dibagi dua, 75 persen untuk pemilik komoditi dan 25 persen untuk KTL. Dengan cara ini anggota KTL mendapatkan keuntungan ganda. Selain memperoleh  harga lebih tinggi, mereka juga mendapatkan pembagian keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual; 3) Kios koperasi. Apabila ada anggota KTL yang kesulitan uang untuk membeli barang-barang kebutuhan, anggota tersebut dapat membuka pinjaman di koperasi dan mengambil barang di kios KTL; 4)Tabungan pendidikan. KTL memfasilitasi anggota untuk mempersiapkan biaya bagi pendidikan anak dengan cara menyisihkan sebagian hasil kerjanya untuk ditabung di KTL.
KTL yang dibidani dan dipimpin Kamilus kini beranggotakan 325 orang dan jumlah simpanan anggota tak kurang dari Rp 197 juta. Jumlah simpanan KTL yang baru tiga tahun beroperasi ini bisa jadi terbilang kecil bila dibandingkan simpanan koperasi kredit di kampungnya. Namun manfaat dan efektivitas sistem KTL dirasakan secara luas oleh masyarakat kampung. Bahkan warga dari kampung-kampung lain tergerak mengikuti jejak KTL setelah mereka melihat keluasan manfaat dan efektivitas sistem KTL. Mereka kemudian membentuk kelompok dan menerapkan sistem yang sama seperti KTL. Setidaknya sudah ada 8 (delapan) kampung yang sudah membentuk badan usaha rakyat dan menerapkan sistem ekonomi solidaritas sebagaimana yang dijalankan KTL. Dalam hal ini Kamilus membantu proses pendirian badan usaha rakyat dan penerapan sistem ekonomi solidaritas di delapan kampung tersebut. (Sri Palupi, Kompasiana)


By : Anis Soraya