Irma Suryati : Memberdayakan penyandang disabilitas membuat kerajinan kain perca

0 comments

Irma Suryati
Irma Suryati, perempuan tegar yang meiliki keterbatasan fisik tidak pernah patah semangat untuk mengubah hidupnya menjadi “bussines woman”. Bahkan berkat usahanya, Irma berhasil memberdayakan 30 rekannya yang memilki sesama penyandang disabilitas untuk membantu usahanya sebagai pengrajin.
Irma Suyanti yang menderita kelumpuhan sejak umur 4 tahun akibat polio, membuktikan bahwa dengan keterbatasan fisik juga mampu beraktivitas dan berkarya seperti orang normal pada umumnya.
Dahulu, Irma berkali-kali ditolak oleh perusahaan saat melamar pekrjaan karena kekurangan fisiknya. Dari kondisi itulah Irma tidak ingin menjadi pekerja, tetapi menjadi orang yang membuka lapangan pekerjaaan, terutama bagi penyandang disabilitas. Seiring dengan alasan tersebut, Irma merasa prihatin dengan limbah kain perca dari sebuah perusahaan konveksi disekitar lingkungan tempat tinggalnya di Semarang.
Irma berinisiatif untuk memanfaatkan limbah kain perca tersebut menjadi kain keset. Dibantu oleh suaminya yang juga penyandang disabilitas. Tak disangka usahanya berkembang pesat, dan berhasil mengajak 30 rekan sesama penyandang disabilitas untuk bekerja dan berdaya.

Edited by Lina Lisnawati

Gambar : tribiznetwork.com

Fauzan Hangriawan, Meningkatkan Kesejahteraan Peternak Lele

0 comments

Resah melihat harga jual lele dari peternak ke tangan tengkulak yang sangat rendah, Fauzan (26) tergerak untuk membuka gerai khusus yang menjual lele langsung ke konsumen. Bahkan ia berani membeli lele dengan harga lebih tinggi dari tengkulak agar pendapatan peternak lele lebih baik.
Bila harga lele di tangan tengkulak Rp 11.000/kg, Fauzan membelinya dengan harga Rp 12.500/kg. Dengan harga jual yang lebih tinggi, tentu saja peternak lele menjadi lebih diuntungkan. Saat ini ada sekitar 20 peternak lele plasma di Kecamatan Jagakarsa dan Ciganjur yang menjual hasil panen ikannya kepada Fauzan.
Fauzan Hangriawan
Selain bermitra dengan para peternak, Fauzan juga sukses mengembangkan kolam lelenya dengan cara investasi. Fauzan memberikan dua alternatif pilihan investasi yaitu menyetor modal atau menyediakan lahan serta menyetor modal dan lahan. Agar lebih mudah dalam pengelolaan investasi, lahan-lahan yang dibiayai investor dipusatkan pada satu lokasi. Membudidayakan lele sendiri, sebenarnya sudah dilakukan Fauzan saat masih menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Jakarta sejak bulan September 2009. Dengan modal Rp 1,5 juta. Fauzan membuat kolam lele pertamanya di belakang rumah orang tuanya di kawasan Cipedak, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Sempat gagal saat pertama kali menjalankan usaha lele, namun kemudian usahanya kembali berkembang setelah ia belajar cara berternak lele yang benar kepada Nasrudin, seorang pembudidaya lele yang sukses di Bogor.
Berbeda dengan peternak lainnya, lele yang diproduksi oleh Fauzan dan mitranya adalah Lele Sangkuriang, bukan Lele Dumbo. Dalam seminggu, Fauzan bisa mendapatkan hasil panen sebanyak 900 kg dengan ukuran lele siap konsumsi (2 bulan masa pemeliharaan) dan dijual seharga Rp 15.000,- per kg. Dari jumlah panen tersebut, 60%nya dijual melalui 2 outlet ikan milik Fauzan di Krukut dan Cinere, sedangkan sisanya dijual langsung ke pasar. Penjualan melalui outlet ditargetkan untuk menyasar langsung ke pembeli ibu-ibu rumah tangga, sedangkan penjualan melalui pasar biasanya masuk ke rumah makan dan pembeli di pasar.
Menjadi juara pertama pada ajang Wirausaha Muda Mandiri tahun 2010 kategori Mahasiswa Program Diploma & Sarjana bidang usaha Industri & Jasa menjadi titik balik percepatan usaha Fauzan. 

Edited by Lina Lisnawati

Sumber :
http://csr.bankmandiri.co.id/fauzan-hangriawan-meningkatkan-kesejahteraan-peternak-lele/
http://entrepreneurship.wirausahanews.com/20121009/540-fauzan-hangriawanusaha-pembenihan-dan-pembesaran-lele-sangkuriang-organik.html

Gambar : peluangusaha.kontan.co.id

Farha Ciciek : Menggagas Festival Engrang, Masyarakat Berdaya

0 comments

Setelah lama bergelut di organisasi perempuan, kini Farha Ciciek dan suaminya, Supoharjo, memilih membangun pendidikan komunitas di Jember, Jawa Timur. Ia memilih daerah yang mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai buruh luar negeri, buruh tani, dan sektor informal. Di kampung, Ciciek menghadapi berbagai persoalan, semisal anak putus sekolah, pengangguran, kekerasan terhadap anak, dan penyalahgunan narkoba. Justru di tempat yang sarat masalah sosial itu, Ciciek menyemai benih pendidikan kepada generasi muda dalam satu wadah bersama: Komunitas Tanoker. Tanoker dalam bahasa Madura artinya kepompong. Sekilas tak ada yang istimewa dari nama itu. Namun dari kepompong sederhana itu, tumbuh generasi baru bermasa depan cerah. Tanoker merupakan tempat pertemuan berbagai latar belakang, bangsa dan budaya. Pun, sengaja dikelola  untuk saling menguatkan demi menciptakan perdamaian, keadilan  dan kesejahteraan,  khususnya untuk anak-anak generasi penerus bangsa. Tanoker gencar mendampingi anak-anak setingkat sekolah dasar dan menengah pertama. Anggota Tanoker pada umumnya adalah anak para buruh migran, buruh tani, tukang ojeg, sopir, pedagang kecil, guru, dan pekerja rumah tangga. Sebagai rumah belajar, Tanoker telah mendorong pengembangan potensi sumber daya manusia di Jember menuju perubahan sosial yang lebih baik. Komunitas Tanoker yang didirikan Ciciek berfokus kepada kegiatan pemberdayaan anak-anak melalui pendekatan budaya. Selain membaca-menulis, memasak, menari dan melukis, olahraga, serta musik, Ciciek juga mengajarkan teknologi Internet kepada anak-anak. Aksi inspiratif Farha Ciciek ini mendidik anak-anak di desa Ledokombo yang ditinggalkan orang tuanya untuk bekerja menjadi TKI.
 ”Selama ini masyarakat hanya memperhatikan TKI-nya, padahal ada komunitas yang ditinggalkan oleh mereka yang juga patut diperhatikan,” katanya. Bersama sang suami, ia mencari cara untuk membangkitkan semangat anak-anak itu. ”Saya selalu percaya, budaya dan kesenian adalah alat persuasif yang membahagiakan. Beberapa tahun lalu, Ciciek pernah terpilih sebagai satu dari 1.000 Peace Women 2005 dan dinominasikan untuk hadiah Nobel Perdamaian. Egrang: Spirit Pendidikan yang Membebaskan Empat gadis kecil berseragam sekolah nampak riang menyanyikan lagu tradisional, mars Tanoker diiringi tabuhan perkusi. Di atas panggung alam, gundukan tanah, halaman belakang Tanoker, mereka unjuk kebolehan. Selain bernyanyi, pertunjukan yang paling menonjol di Tanoker adalah menari menggunakan egrang dan bermain perkusi.
Selama ini belajar atau sekolah selalu diasosiasikan dengan ruang kelas, bangku, papan tulis, dan guru yang mendiktekan pelajaran. Di Tanoker kehidupan sosial dan alam raya menjadi madrasah abadi. Dari permainan yang disuguhkan, terlihat jelas jika anak-anak Tanoker memang terlatih secara professional. Selama ini mereka telah unjuk kebolehan ke berbagai tempat, bahkan sampai ke luar negeri. Keahlian mereka bermain egrang sudah tak diragukan lagi. Saat bermain, menari diiringi musik, beberapa diantaranya hanya menggunakan satu egrang sebagai tumpuan. Luar biasa. Nampaknya Ciciek berhasil menemukan identitas kultural masyarakat Pandalungan Jember, dan menggunakannya sebagai medium belajar. Di Ledokombo, spirit pendidikan itu ada pada egrang. Permainan dari bambu yang sudah dimainkan di sana sejak zaman dahulu, tapi sempat terlupakan. Biasanya anak-anak bebas bermain egrang dari berbagai ukuran di halaman rumah yang luas.  Mainan egrang itu tak hanya dinaiki, tapi juga dijadikan tarian menarik yang diiringi musik. Bahkan juga dijadikan sebuah kompetisi. Ciciek juga mengundang teman-temannya dari Jakarta dan Australia untuk belajar bersama, menikmati permainan egrang.
Festival egrang pun diprakarsai untuk meningkatkan minat. Perlahan tapi pasti, rasa percaya diri tumbuh dalam diri anakanak Ledokombo. Egrang telah membawa perubahan besar. Desa Ledokombo yang termarginalkan itu mulai mendapat perhatian pemerintah daerah. ”Egrang menjadi sebuah ikon, alat pembebasan bagi anak-anak. Makanya, saya bilang ini adalah egrang perjuangan. Bagaimana bambu ini bisa memberi berkah yang membahagiakan,” Ujar Ciciek. Saat ini Ciciek kini tengah berjuang agar nasib anak-anak TKI mendapat perhatian dari dewan rakyat. Selain egrang, wanita kelahiran Ambon, 26 Juni 1963, ini juga berusaha mendorong anak-anak Ledokombo untuk belajar, yang dimulainya dari membaca. Fasilitas perpustakaan pun disediakan. Bahkan ia mengubah kolam ikan menjadi kolam renang. Siapapun yang mau berenang, wajib membaca satu buku. Sebuah cara belajar yang menarik. “Prinsipnya, belajar dengan bahagia,” imbuhnya.

Edited By : Lina Lisnawati

Sumber:
http://indihomewomenawards.com/dra-farha-ciciek-m-si
http://www.tribunnews.com/regional/2014/08/19/jember-gelar-festivak-egrang-ke-v-dengan-juri-juri-internasional

Titik Winarti: Memandirikan Para Disabilitas

0 comments

Titik Winarti mengacuhkan cibiran orang ketika merangkul para penyadang disabilitas untuk bekerja di tempatnya. Sesungguhnya pemberdayaan ini hanyalah salah satu cara yang dipilih Titik untuk menghantarkan mereka menjadi manusia yang mandiri. Siapa sangka, kiprahnya ini membawa Titik menerima penghargaan internasional dan membuatnya diundang berbicara di Kantor PBB New York tahun 2005.
Titik Winarti
Titik Winarti adalah pemiliki Tiara Handicraft, sebuah label asesoris ternama yang kreasinya sudah tesebar ke manca negara. Di dalam negeri, kreasi Titik banyak menghiasi hotel-hotel berbintang. Usaha kerajinan tangan yang dibuat Titik antara lain berupa tas dari kain perca dan berbagai cendera mata dan keperluan rumah tangga berbahan baku kain. Yang menarik, kreasi Tiara Handicraft ini dibuat oleh pekerja disabilitas. Dari tangan-tangan merekalah produk-produk kualitas unggulan yang  diperuntukkan untuk komoditi ekspor.
Titik memang sengaja memperkerjakan kaum disabilitas untuk menjalan roda usahanya. Pasalnya ia prihatin melihat para penyandang disabilitas kesulitan memasuki dunia kerja, kendati mereka memiliki keterampilan yang dibutuhkan perusahaan. Titik mengamati, memang beberapa perusahaan membuka diri menerima karyawan penyang disabilitas, tetapi itu hanya untuk kategori cacat ringan. Sementara yang berkondisi berat hampir tak diberi kesempatan untuk bersaing dan mengaktualkan kemampuannya.
Usaha yang dirintis Titik semakin berkembang dari waktu ke waktu. Menurutnya, keberhasilan ini tak terlepas dari peran suami yang sangat mendukungnya. Awalnya ia hanya memperkerjakan sedikit karyawan, namun karena namanya semakin tersohor, banyak penyandang  disabilitas melamar kerja ke tempatnya. Titik pun menampung mereka. Ini sejalan dengan kondisi usahanya yang semakin banyak mendapatkan permintaan pembeli, yang berarti pula membutuhkan banyak tambahan karyawan.
Para karyawan ini ditempatkan di belakangan rumah Titik sendiri yang luas lahannya sekitar 200 meter persegi.  Walau terkesan sempit, para pekerja disabilitas ini menjalaninya dengan senang hati, karena mereka mendapat tempat tinggal gratis.  Tak perlu pusing membayar uang kos yang lumayan besar dan terus merangkak naik. Bahkan Titik pernah menampung hingga ratusan pekerja disabilitas. Kini pekerja disabilitas yang ditampung olehnya berjumlah sekitar 40-an orang. Mereka umumnya lulusan berbagai panti sosial di wilayah Indonesia.
Salah satu tekadnya untuk terus mengembangkan usaha ini adalah untuk memajukan kaum disabilitas. Titik berusaha keras untuk tetap bertahan dalam percaturan bisnis kerajinan tangan ini karena  tak ingin para disabilitas terpinggirkan.  Misi utamanya adalah tetap bagaimana menjadikan anak-anak disabilitas bisa mandiri atau diterima pasar kerja. 

By : Darastri Latifah

Sumber : https://aanmamesa.wordpress.com/2014/03/28/titik-winarti-memandirikan-para-disabilitas/
Gambar : http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2013/07/17/titik-winarti-sang-pemberdaya-penyandang-disabilitas--577422.html