Apa Itu Kewirausahaan Sosial?

0 comments

Social entrepreneurship merupakan sebuah istilah turunan dari kewirausahaan. Gabungan dari dua kata, social yang artinya kemasyarakatan, dan entrepreneurship yang artinya kewirausahaan.  Social entrepreneurship adalah penciptaan nilai sosial yang dihasilkan dari kolaborasi bersama orang-orang dan organisasi lain dari lingkungan masyarakat yang terlibat dalam penciptaan inovasi sosial dalam kegiatan ekonomi.[1]
Bill Drayton (pendiri Ashoka Foundation) selaku penggagas kewirausahaan sosial menegaskan bahwa ada dua hal kunci dalam kewirausahaan sosial. Pertama, adanya inovasi sosial yang mampu mengubah sistem yang ada di masyarakat. Kedua, hadirnya individu bervisi, kreatif, berjiwa wirausaha (entrepreneurial), dan beretika di belakang gagasan inovatif tersebut. Hulgard (2010) merangkum definisi kewirausaha an sosial dengan lebih komprehensif: “Social entrepreneurship can be defined as “the creation of a social value that is produced in collaboration with people and organization from the civil society who are engaged in social innovations that usually imply an economic activity”.[2]
Definisi komprehensif di atas memberikan pemahaman bahwa kewirausahaan sosial terdiri dari empat elemen utama yakni social value, civil society, innovation, and economic activity. 
1. Social Value. Ini merupakan elemen paling khas dari kewirausahaan sosial yakni menciptakan manfaat sosial yang nyata bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. 
2. Civil Society. Kewirausahaan sosial pada umumnya berasal dari inisiatif dan partisipasi masyarakat sipil dengan mengoptimalkan modal sosial yang ada di masyarakat. 
3. Innovation. Kewirausahaan sosial memecahkan masalah sosial dengan cara-cara inovatif antara lain dengan memadukan kearifan lokal dan inovasi sosial. 
4. Economic Activity. Kewirausahaan sosial yang berhasil pada umumnya dengan menyeimbangkan antara antara aktivitas sosial dan aktivitas bisnis. Aktivitas bisnis/ekonomi dikembangkan untuk menjamin kemandirian dan keberlanjutan misi sosial organisasi.


[1] Jurnal Manajemen, Vol.11, No.1, November 2011;Universitas Kristen Maranatha, ISSN 1411-9293

[2] Berdasarkan review literatur dan definisi kewirausahaan sosial dari berbagai institusi seperti EMES (European Research Network), The Skoll Centre, CAN dan Ashoka dan pendapat para pakar kewirausahaan sosial seperti Gregory Dees, James Austin, Charles Leadbeater dan akademisi dari EMES Network

By : Tundzirawati

Tri Mumpuni Pejuang Mikrohidro Indonesia

0 comments

Ibu Tri Mumpuni bersama suami, membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) sebagai sumber energi listrik bagi wilayah yang belum terjangkau atau sulit dijangkau oleh PT PLN dengan memanfaatkan potensi energi air yang terdapat dilokasi setempat untuk menggerakkan turbin.
Ide awal pembangunan PLTMH berawal dari seringnya Ibu Tri Mumpuni bersama suami berkeliling ke desa-desa dan melihat sumber air yang melimpah namum belum ada kabel distribusi listrik dilokasi tersebut. Kemudian dibicarakan kepada Kepala Desa setempat kemungkinan untuk membangun pembangkit listrik dengan memanfaatkan aliran sungai untuk menghasilkan listrik dari sebuah turbin.
Langkah selanjutnya lanjut Tri Mumpuni, adalah mengumpulkan data untuk melihat kemungkinannya secara teknis serta menghitung rencana anggaran biaya kemudian mencari sumber dana untuk pembangunan pembangkit.
Setelah dana tersedia, yayasan Ibeka lalu mengirim Tim Sosial untuk membangun komunitas. Tim Sosial ini akan berinteraksi selama beberapa minggu dengan masyarakat agar terbina hubungan yang baik. Langkah awalnya adalah menghubungi tokoh agama maupun tokoh adat setempat.
Kemudian masyarakat diminta membuat organisasi yang akan mengurus turbin, dengan menentukan siapa ketua, bendahara, sekretaris, hingga siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan bongkar pasang mesin turbin. Tim yangg terbentuk tersebut juga diberikan pengetahuan pengoperasian mesin turbin dan penghitungan biaya yang harus dikeluarkan pelanggan dan biaya memelihara pembangkit listrik.
Agar pembangkit listrik tenaga air itu dapat menjalankan fungsinya terus-menerus maka daerah tangkapan air di hulu harus dipertahankan seluas 30 kilometer persegi. Tidak boleh ada penebangan hutan dan vegetasi.
Listrik bagi desa terisolir bukanlah tujuan akhir ujar Tri Mumpuni, membangun pemberdayaan masyarakat khususnya secara ekonomi adalah tujuan utama kami. Dengan adanya listrik diharapkan ekonomi masyarakat dapat terbangun dan sekaligus membantu pemerintah untuk melistriki desa-desa terpencil.
Dia menerangi desa dalam arti sebenarnya. Bersama suaminya, Iskandar Budisaroso Kuntoadji, Tri Mumpuni Wiyatno membangun pembangkit listrik mini bertenaga air. Sudah 60 lokasi mereka terangi dengan listrik
Pembangkit listrik mikrohidro juga ramah lingkungan karena tidak menggunakan bahan bakar fosil. Artinya, tidak menambah jumlah gas karbon dioksida ke atmosfer yang memperburuk efek rumah kaca penyebab naiknya suhu muka Bumi secara global
Dengan kiprahnya ini, Tri Mumpuni banyak meraih penghargaan internasional. Tetapi tentu bukan itu tujuan utamanya, melainkan melihat Indonesia ini menjadi negeri yang bercahaya dengan listrik yang benderang. Ekonomi pedesaan bisa tumbuh, tidak lagi hanya berpusat di kota.

Edited : Lina Lisnawati

Gambar : 

Dian Wahdini Syarief: Peraih Lifetime Achievement Award dari Kongres Lupus Internasional, Kanada

0 comments

Dian Wahdini Syarief
Di balik kelembutan dan ketenangannya, Dian menyimpan kegigihan dan ketegaran yang luar biasa menghadapi keganasan penyakit lupusnya yang kerap kambuh.Ia kini mendarmakan waktunya untuk menolong sesama penderita lupus lainnya. Lifetime Achievement Award dari Kongres Lupus Internasional pun dianugerahkan kepadanya atas  sumbangsihnya  itu.
Mantan Manajer Komunikasi Korporat Bank Bali ini divonis menderita penyakit lupus pada 1999. Dian yang dulu dikenal sebagai wanita karier yang ceria dan ramah, sehingga amat populer di kalangan wartawan perbankan, sempat merasa hidupnya terhenti di usia 34 tahun itu.
Namun, berkat daya juangnya yang tinggi, plus kesabaran dan kepasrahan, ia mampu menjalani puluhan kali terapi dan periode pengobatan yang panjang, melelahkan, menguras dana dan tenaga, serta sangat menyakitkan.
“Saya tidak pernah mimpi jadi orang buta. Tahun 1999 itu saya sering menangis karena tidak bisa melihat lagi,” ujar perempuan yang kini berusia 45 tahun ini terus terang.
Kini, selain masih berupaya melawan keganasan lupus yang sewaktu-waktu kambuh, ia mengelola yayasan yang ditujukan untuk membantu sesama penderita lupus lainnya, yakni Syamsi Dhuha Foundation.
Menurut Dian, lima tahun pertama sakitnya lebih banyak ia gunakan untuk berjuang hidup. Saat itu ia banyak mengalami pendarahan dan peradangan. “Saya harus bolak-balik ke rumah sakit untuk operasi, terapi, konsultasi dan fisioterapi. Di tahun 1999 itu juga saya sempat tidak bisa jalan,” ujar wanita yang telah menjalani hampir 20 kali operasi sepanjang mengidap penyakitnya itu.
Kondisi kesehatan Dian baru lumayan stabil pada 2004. Pada tahun itu Dian mendirikan Syamsi Dhuha Foundation (SDF). Kehadiran yayasan ini merupakan wujud syukur Dian karena masih diberi kesempatan untuk hidup oleh Tuhan.
“Saya ingin berbagi pengalaman, memfasilitasi orang lain, dan sebagainya. Inti SDF adalah pendampingan, memfasilitasi dan pemberdayaan,” ujarnya. Upayanya ini diapresiasi dunia. Baru-baru ini, ia memperoleh penghargaan Lifetime Achievement Award dari penyelenggara the 9th International Congress on Systemic Lupus Erythematosus di Vancouver, British Columbia, Kanada. Di sini ia juga menjadi salah satu panelis dalam diskusi panel yang melibatkan tiga negara yaitu Kanada, Inggris dan Indonesia. Dian membawakan materi berjudul How to Make Friends with Lupus. Di dalam negeri pun, Dian kerap dipanggil untuk sharing pengalaman dan motivasi di lingkungan odapus (orang dengan penyakit lupus) dan beberapa perusahaan.
Dalam perjuangannya menghadapi penyakit lupus, Dian mengaku mengalami dua kali depresi yang hebat, yaitu pada 2001 dan 2007. Tahun 2001, Dian merasa depresi karena merasa tidak kunjung sembuh dari penyakitnya.
“Sebenarnya saya semangat berobat dan terapi karena punya harapan ingin sembuh dan bisa melihat kembali. Tapi ketika hal itu tidak terjadi, saya pun menjadi down,” ujar wanita yang berobat hingga ke Mount Elizabeth Hospital di Singapura ini..
Saat ini, meski hidup bersama lupus, kegiatan rutin Dian lebih berwarna. Seperti orang normal lainnya, sekarang ia rutin berenang setidaknya seminggu sekali selama tidak dalam kondisi pasca-operasi.

Edited : Lina Lisnawati

Sumber :
Gambar : www.fa.itb.ac.id