Ni Made Indrawati : Pengorganisasian Hak dan Akses Masyarakat Pedesaan

0 comments

Konflik antara masyarakat dan pemerintah dalam manajemen dan konservasi sumber daya alam sering dipakai untuk menyalahkan masyarakat kecil yang berdomisil dalam lingkungan taman nasional. Tahun 1993, Indra bersama para penduduk desa Sumber Kelampok, di Taman Nasional Bali Barat, membentuk KUB (Kelompok Usaha Bersama), menggabungkan tokoh organisasi tradisional Hindu maupun Islam, untuk membentuk sistem baru yang melibatkan nilai-nilai adat dalam berbagai program peningkatan pendapatan, pertanian, konservasi hutan, termasuk pembentukan sistem penyediaan air bersih, dan pendirian kelompok kerajinan tradisional. Secara keseluruhan, gerakan ini merupakan upaya reaktualisasi sistem tradisional dalam kerangka manajemen lingkungan.

Edited by Lina Lisnawati

Abdi Nur : Mengubah Hama Jadi Sumber Nafkah

0 comments

Abdi Nur
Akrab dengan tanaman hama yaitu tamanan resam atau Gleichenia linearis di sekitar kebun dekat rumahnya, Kuala Tungkal, Jambi, membuat Abdi Nur penasaran dengan tanaman tersebut. Seatelah baeartemu deangan nelayan yang sedang menangkap ikan dengan menggunakan bubu yang terbuat dari batang resam, abdi pun mencoba untuk membuatnya. 
Sejak itu Abdi mulai mencoba-coba membuat berbagai jenis kerajinan dari resam, seperti topi, tas, tempat tisu, vas bunga, wadah makanan, tikar, dan berbagai jenis peralatan rumah tangga yang bermanfaat.
Abdi menyadari bahwa resam dapat sia-sia bila tidak dimanfaatkan, maka itu ia terus menggali kehadiran alam di sekitarnya yang bisa dimanfaatkan, seperti biji dari buah karet. Biji karet ini banyak terbuang karena lahan telah penuh oleh tanaman. Abdi memungutnya dan memanfaatkannya untuk menjadi pernak pernik atau bunga yang disematkan di kerajinannya.
Ada juga getah damar yang terdapat di hutan dan dimanfaatkannya sebagai bahan alami untuk menambah kilap. Ia juga serta memanfaatkan akar tumbuhan pasak bumi, kulit kayu gaharu, dan pelepah pisang untuk memperkaya produk-produk kerajinan tersebut.
Kepada setiap orang yang ditemuinya, Abdi selalu berupaya menjelaskan bahwa manfaat resam dan berbagai bahan yang dia gunakan bukan sekadar pada nilai ekonomisnya. Menurut ayah empat anak ini, bahan-bahan alami itu juga bermanfaat dari segi kesehatan. Sebagai contoh, batang resam yang dipajang dalam ruangan, misalnya sebagai tirai atau pot hias, berdampak memberi ketenangan bagi penghuni rumah. Daun resam yang masih segar pun ternyata menyembuhkan sakit perut dan sembelit. Caranya dengan dibalurkan pada bagian perut. 
Selain itu, aksesoris gelang dan kalung yang dibuat dari resam, menurut Abdi, juga bisa dimanfaatkan sebagai alat pijat ketika badan terasa pegal. Adapun akar pasak bumi sudah lebih dikenal sebagai bahan alami untuk meningkatkan stamina. Sementara gaharu untuk pengharum ruangan karena aromanya yang khas.
Mengembangkan usaha kerajinan resam di sebuah desa yang sepi memang tak mudah. Abdi harus sering-sering mencari informasi ke kota jika ada pameran. Dia datang dengan membawa sejumlah karyanya untuk dijual di tempat itu.
Lama kelamaan, produk-produk Abdi semakin dikenal dan membuatnya kebanjiran pesanan, namun ia tidak ingin melakukannya seorang diri. Ia pun mengajak masyarakat sekitar untuk bergabung membuat kerajinan resam. Kini, ada sekitar 50 keluarga di desanya yang menjadi perajin resam tidak tetap, Abdi juga melibatkan 10 pemuda pengangguran sebagai perajin tetap. Ia juga berbagi pengetahuan tentang memanfaatkan resam sebagai kerajinan kepada masyarakat di daerah lain.

Edited by Tundzirawati

Sumber: 
http://m.kompasiana.com/post/read/689716/1/diuntungkan-oleh-hama.html
http://sutarko.blogspot.com/search?updated-min=2012-01-01T00:00:00-08:00&updated-max=2013-01-01T00:00:00-08:00&max-results=50

Gambar: usahamediajambi.blogspot.com

Nani Zulminarni: Kembalikan Harkat Para Janda

1 comments

Menjadi janda memang susah. Umumnya perempuan yang menjanda mendapatkan stigma dari masyarakat. Status itu cenderung dihubungkan dengan kegagalan dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan dari pihak perempuan, ketimbang yang dilakukan kaum laki-laki. Derita psikologis dan sosial ini biasanya juga diikuti persoalan ekonomi, apalagi apabila sang janda berasal dari kalangan miskin. Padahal peran janda sebagai ibu sangat penting bagi keberlanjutan sebuah keluarga, dan pada gilirannya bagi bangsa.
Nani Zulminami
Nani Zulmarini (45) memandang persoalan janda miskin tidak sesederhana yang dipikirkan banyak kalangan. Bantuan berupa sumbangan dana kepada mereka, menurut perempuan asal Ketapang, Kalimantan Barat ini, bukanlah jawaban. Nani mengembangkan pendekatan yang sama sekali baru mengatasi persoalan janda, yang di sejak era konflik di negeri ini jumlahnya terus meningkat. Menurut Nani, pendekatan pemberdayaan yang menyeluruh atau komprehensif sangat penting untuk mengatasi persoalan mereka yang kompleks.
Salah satu andalan Nani dalam mengentaskan masalah kaum janda dan para kepala keluarga perempuan adalah usaha simpan pinjam atau koperasi. Nani dan organisasinya, PEKKA (Program Pemberdayaan Kepala Keluarga Perempuan) berupaya mendorong para janda untuk mengelola secara swadana dan swadaya koperasi mereka.
Mengawali upaya ini, menurut Nani adalah hal tersulit. Tidak mudah mendorong janda-janda miskin untuk menabung. Tak urung Nani mengerahkan petugas lapang (PL)-nya untuk mendidik dan melatih para janda itu bagaimana menyimpan uang, mulai dari Rp 100 hingga beberapa ribu setiap hari atau setiap minggunya. Ada kalanya, karena sangat miskinnya, beberapa janda hanya bisa menyisihkan satu sendok gula per hari, atau satu butir kelapa per minggu.
Para janda itu lama-kelamaan bersemangat mengelola uang mereka, apalagi saat mereka mulai dapat merasakan manfaat uang simpanan mereka. Mereka termotivasi karena bisa meminjam dana dari uang yang mereka kumpulkan sendiri itu dengan bunga yang tidak setinggi yang dikenakan kalangan renternir yang biasa meminjami mereka uang. Apalagi keuntungan simpan pinjam itu dikembalikan kepada mereka lagi setiap akhir tahun sebagai SHU (sisa hasil usaha).
Saat ini terhitung ada 370 lebih Kelompok Simpan Pinjam di delapan provinsi di seluruh Indonesia. Jumlah anggotanya lebih dari delapan ribu janda dan kepala keluarga perempuan, dengan 28 Lembaga Keuangan Mikro dan 500 perempuan pemimpin basis.
Menginjak usia PEKKA yang ketujuh, ada 400 lebih kader lokal yang secara terus-menerus memperjuangkan hak-hak para janda, baik di bidang hukum, pendidikan, sosial, maupun ekonomi. Perjuangan mereka memberikan hasil yang luar biasa, sehingga Nani sebagai penggagas menuai berbagai penghargaan atas sepak terjangnya membantu kaum janda ini. Nani, antara lain menjadi satu dari 1000 perempuan yang layak menjadi kandidat peraih penghargaan Nobel, disamping memperoleh penghargaan sebagai inovator dari Ashoka Global.
Nani, melalui PEKKA mendorong para perempuan kepala keluarga untuk menyuarakan dan menggugat hak-hak mereka. Hasilnya, ratusan janda di beberapa provinsi memperoleh akses mendapatkan akta cerai untuk dirinya dan akta kelahiran untuk anak-anak mereka.
Selain itu, di beberapa para janda di daerah konflik seperti di Aceh dan Ambon terbukti anggota PEKKA memiliki peran sangat besar dalam terciptanya perdamaian dan rekonsiliasi.
Bahkan seusai bencana tsunami di Aceh di akhir tahun 2004, para anggota PEKKA yang terbiasa berorganisasi berhasil memberdayakan kaum janda yang selamat dari bencana untuk mengorganisasi bantuan dan pertolongan.
Di NTT PEKKA juga berhasil menerobos hambatan budaya patrilineal yang sangat kuat, dan beberapa anggotanya bahkan berhasil memegang jabatan sebagai kepala desa, sehingga mulai dapat turut berperan dalam pengambilan keputusan di kalangan masyarakat.
Hal penting yang menjadi perhatian Nani dalam PEKKA adalah membangun kepercayaan diri kaum janda. Nani melalui PEKKA berusaha menyadarkan para anggota PEKKA akan harkat perempuan, dan bahwa status janda tidak seharusnya menghambat mereka untuk berhasil. Menurut Nani, saat kepercayaan diri para janda itu bangkit, otomatis lebih mudah bagi pera janda itu untuk melihat masa depan mereka.
Bagi Nani sendiri, memimpin PEKKA bukanlah soal gampang. Ia sendiri sebagai orang tua tunggal dituntut memberikan perhatian penuh pada para ketiga anak lelakinya, sementara pekerjaan di PEKKA juga yang bersinggungan dengan permasalahan janda yang sering mempengaruhinya secara psikologis dan emosional.
Namun, ia melatih diri untuk tidak terlarut dalam “romantisme”, begitu juga ia meminta pengertian anak-anaknya berkaitan dengan kesibukannya yang luar biasa.
Selain hambatan personal, Nani juga mengalami kendala eksternal terutama soal dana. Pernah ia mengutang dana operasional selama setahun demi keberlanjutan organisasinya. Kesulitan itu diatasinya dengan bekerja pontang-panting, baik sebagai konsultan, peneliti, maupun menulis buku demi PEKKA.
Nani tidak merasa menjadi pejuang atau sukarelawan, karena ia menggaji dirinya saat melakukan kegiatan sosialnya. Menurutnya, idealisme harus diimbangi dengan sikap realistis, wirausaha sosial bukan berarti bekerja tanpa imbalan. “Kita tidak mungkin dapat menolong orang lain bila kondisi kita tidak memungkinkan. Paling tidak, kebutuhan dasar kita haruslah terpenuhi,” ujar perempuan yang menikah di usia 21 tahun ini.
Asal mulanya membangun PEKKA adalah pada tahun 2000, bersamaan dengan resminya status perceraiannya. Waktu itu, Nani mendapatkan tawaran dari Komnas Perempuan dan PPK untuk melakukan pendokumentasian dan pembagian dana bantuan bagi para janda di wilayah konflik. Tawaran itu menurutnya menarik, namun ia mengusulkan beberapa perubahan mendasar. Usul pendekatan pemberdayaan bagi para janda yang digagasnya kemudian, kini terbukti menuai keberhasilan. Keinginannya yang terdalam adalah melembagakan upaya pemberdayaan para janda ini, sehingga ada center-center di kampung-kampung seluruh Indonesia.
Lies Marcus, seorang aktivis perempuan yang dihubungi SH menilai, Nani adalah aktivis yang berhasil dan konsisten dalam melakukan pekerjaannya memberdayakan kaum janda dan perempuan kepala keluarga.

Edited by Lina Lisnawati

Sumber:

Gambar : radarsukabumi.com

Sunarni : Rumah Sampah tapi Indah

0 comments

Pekerja tuna rungu membuat kerajinan tas daur ulang dari plastik bekas di Rumah Sampah tapi Indah.
Kisahnya bermula dari kerisauan pribadi lantaran adiknya menyandang tuna rungu. Dia khawatir sang adik akan kesulitan memperoleh pekerjaan kelak. Karena itu, bagi Sunarni,  menyiapkannya dengan keterampilan merupakan solusi terbaik sebagai bekal kehidupan.
Sebuah tulisan "Di Rumah Sampah Tapi Indah" di atas pintu sebuah rumah di Pisangan Barat, Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, merupakan sambutan khas dari tiga bersudara Sunarti, Sunarni, dan Nining. Ketiganya penggerak industri rumahan berbahan sampah plastik yang semua pekerjanya tuna rungu. Kini sudah ada 13 karyawan yang bekerja bersamanya.
Karya kerajinan yang dibuat oleh Sunarni dibuat dari sampah plastik yang didapatkannya dari pemulung dengan harga Rp. 4000; perkilo. Saat ini Sunarni mendapatkan bahan dasarnya bukan dari pemulung saja, tapi juga dari perusahaan dan institusi pemerintah seperti deapartemen sosial dan lain-lain. Aneka kerajinan yang dibuatnya muali dari tempat pensil, dompet, tas merek “Happy Trash Bag”, dan lain-lain.
Setiap Sabtu, Sunarni menjadi tenaga pengajar sukarela bagi siswa-siswa sekolah luar biasa di kawasan Pondok Cabe, Ciputat. Selama dua bulan berturut-turut setiap tahun, giliran siswa SLB tersebut yang menjalani pelatihan untuk berkreasi di rumah keluarga Sunarni. Kegiatan pelatihan tersebut tidak dipungut biaya sama sekali. Terkadang siswa SLB diberikan ongkos pulang serta disediakan makan ala kadarnya.
Menurut Sunarni, mengikuti pelatihan dan mampu menguasai keterampilan tertentu merupakan terapi paling baik bagi para penyandang cacat. Orang yang memiliki ketidaksempurnaan fisik, tetapi memiliki otak normal amat mudah menguasai keterampilan dan mampu hidup mandiri. Dengan kemandiriannya, mereka menjadi percaya diri hidup di tengah masyarakat. Namun, dibutuhkan usaha ekstrakeras untuk melatih penyandang cacat yang juga mengalami gangguan pada otak. Yang pasti, asal telaten, sabar, dan ikhlas, hasil terbaik bisa dicapai.

Edited by : Tundzirawati

Sumber: 
http://sutarko.blogspot.com/2013/09/sunarni-rumah-sampah-tapi-indah.html
https://id.berita.yahoo.com/sunarni--mengubah-sampah-jadi-harta-125246985.html