Farha Ciciek : Menggagas Festival Engrang, Masyarakat Berdaya

Setelah lama bergelut di organisasi perempuan, kini Farha Ciciek dan suaminya, Supoharjo, memilih membangun pendidikan komunitas di Jember, Jawa Timur. Ia memilih daerah yang mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai buruh luar negeri, buruh tani, dan sektor informal. Di kampung, Ciciek menghadapi berbagai persoalan, semisal anak putus sekolah, pengangguran, kekerasan terhadap anak, dan penyalahgunan narkoba. Justru di tempat yang sarat masalah sosial itu, Ciciek menyemai benih pendidikan kepada generasi muda dalam satu wadah bersama: Komunitas Tanoker. Tanoker dalam bahasa Madura artinya kepompong. Sekilas tak ada yang istimewa dari nama itu. Namun dari kepompong sederhana itu, tumbuh generasi baru bermasa depan cerah. Tanoker merupakan tempat pertemuan berbagai latar belakang, bangsa dan budaya. Pun, sengaja dikelola  untuk saling menguatkan demi menciptakan perdamaian, keadilan  dan kesejahteraan,  khususnya untuk anak-anak generasi penerus bangsa. Tanoker gencar mendampingi anak-anak setingkat sekolah dasar dan menengah pertama. Anggota Tanoker pada umumnya adalah anak para buruh migran, buruh tani, tukang ojeg, sopir, pedagang kecil, guru, dan pekerja rumah tangga. Sebagai rumah belajar, Tanoker telah mendorong pengembangan potensi sumber daya manusia di Jember menuju perubahan sosial yang lebih baik. Komunitas Tanoker yang didirikan Ciciek berfokus kepada kegiatan pemberdayaan anak-anak melalui pendekatan budaya. Selain membaca-menulis, memasak, menari dan melukis, olahraga, serta musik, Ciciek juga mengajarkan teknologi Internet kepada anak-anak. Aksi inspiratif Farha Ciciek ini mendidik anak-anak di desa Ledokombo yang ditinggalkan orang tuanya untuk bekerja menjadi TKI.
 ”Selama ini masyarakat hanya memperhatikan TKI-nya, padahal ada komunitas yang ditinggalkan oleh mereka yang juga patut diperhatikan,” katanya. Bersama sang suami, ia mencari cara untuk membangkitkan semangat anak-anak itu. ”Saya selalu percaya, budaya dan kesenian adalah alat persuasif yang membahagiakan. Beberapa tahun lalu, Ciciek pernah terpilih sebagai satu dari 1.000 Peace Women 2005 dan dinominasikan untuk hadiah Nobel Perdamaian. Egrang: Spirit Pendidikan yang Membebaskan Empat gadis kecil berseragam sekolah nampak riang menyanyikan lagu tradisional, mars Tanoker diiringi tabuhan perkusi. Di atas panggung alam, gundukan tanah, halaman belakang Tanoker, mereka unjuk kebolehan. Selain bernyanyi, pertunjukan yang paling menonjol di Tanoker adalah menari menggunakan egrang dan bermain perkusi.
Selama ini belajar atau sekolah selalu diasosiasikan dengan ruang kelas, bangku, papan tulis, dan guru yang mendiktekan pelajaran. Di Tanoker kehidupan sosial dan alam raya menjadi madrasah abadi. Dari permainan yang disuguhkan, terlihat jelas jika anak-anak Tanoker memang terlatih secara professional. Selama ini mereka telah unjuk kebolehan ke berbagai tempat, bahkan sampai ke luar negeri. Keahlian mereka bermain egrang sudah tak diragukan lagi. Saat bermain, menari diiringi musik, beberapa diantaranya hanya menggunakan satu egrang sebagai tumpuan. Luar biasa. Nampaknya Ciciek berhasil menemukan identitas kultural masyarakat Pandalungan Jember, dan menggunakannya sebagai medium belajar. Di Ledokombo, spirit pendidikan itu ada pada egrang. Permainan dari bambu yang sudah dimainkan di sana sejak zaman dahulu, tapi sempat terlupakan. Biasanya anak-anak bebas bermain egrang dari berbagai ukuran di halaman rumah yang luas.  Mainan egrang itu tak hanya dinaiki, tapi juga dijadikan tarian menarik yang diiringi musik. Bahkan juga dijadikan sebuah kompetisi. Ciciek juga mengundang teman-temannya dari Jakarta dan Australia untuk belajar bersama, menikmati permainan egrang.
Festival egrang pun diprakarsai untuk meningkatkan minat. Perlahan tapi pasti, rasa percaya diri tumbuh dalam diri anakanak Ledokombo. Egrang telah membawa perubahan besar. Desa Ledokombo yang termarginalkan itu mulai mendapat perhatian pemerintah daerah. ”Egrang menjadi sebuah ikon, alat pembebasan bagi anak-anak. Makanya, saya bilang ini adalah egrang perjuangan. Bagaimana bambu ini bisa memberi berkah yang membahagiakan,” Ujar Ciciek. Saat ini Ciciek kini tengah berjuang agar nasib anak-anak TKI mendapat perhatian dari dewan rakyat. Selain egrang, wanita kelahiran Ambon, 26 Juni 1963, ini juga berusaha mendorong anak-anak Ledokombo untuk belajar, yang dimulainya dari membaca. Fasilitas perpustakaan pun disediakan. Bahkan ia mengubah kolam ikan menjadi kolam renang. Siapapun yang mau berenang, wajib membaca satu buku. Sebuah cara belajar yang menarik. “Prinsipnya, belajar dengan bahagia,” imbuhnya.

Edited By : Lina Lisnawati

Sumber:
http://indihomewomenawards.com/dra-farha-ciciek-m-si
http://www.tribunnews.com/regional/2014/08/19/jember-gelar-festivak-egrang-ke-v-dengan-juri-juri-internasional

0 comments:

Posting Komentar