Kurikulum Damai, Irfan Amalee

Indonesia patut berbangga memiliki anak muda yang penuh dengan prestasi yang pantas di acungi jempol. Salah satunya adalah Irfan Amalee. Sudah lebih dari 10 tahun beliau bekerja di industri perbukuan untuk anak dan terlibat dalam pekerjaan sosial sebagai pencipta media kurikulum untuk perdamaian. Hebatnya, kurikulum ciptaannya tersebut juga dipakai di luar negeri.

Pemuda asal Bandung ini adalah pemenang International Young Creative Entrepreneur (IYCE) Communication Award 2009. Pada saat itu beliau merupakan redaktur Mizan, penulis, movie maker, dan juga instruktur perdamaian yang peduli pada pola asuh dan perkembangan remaja. Irfan sangat yakin bahwa perdamaian merupakan cara membangun peradaban yang lebih baik. ia juga percaya bahwa kita harus membangun jembatan perdamaian dan merobohkan tembok-tembok kekerasan, sebagaimana pidatonya dalam Penerimaan Award for Multiculturalism dari Universitas Atmajaya Yogyakarta.
Adapun awal mula ide perdamaian muncul adalah saat seorang pria Amerika, bernama Erick Lincoln, seorang native speaker di Mizan, perusahaan tempat Irfan bekerja, tertarik pada sosok Irfan Amalee yang sangat kritis jika sudah berbicara tentang Amerika dan kebijakan-kebijakannya yang debatable. Erick penasaran mengapa Irfan Amalee sering kali garang dalam menyikapi Amerika. Diskusi pun kerap terjadi diantara mereka, terutama tentang Amerika, pandangan negatif muslim dan non muslim, barat-islam, dan perilaku kekerasan yang diminati remaja masa kini. Akhirnya diskusi panjang yang mereka lakukan berujung pada sebuah ide untuk menyatukan berbagai perbedaan-perbedaan tersebut dan mewujudkannya dalam sebuah kurikulum damai.
Kurikulum tersebut akhirnya diwujudkan dalam sebuah modul yang diharapkan dapat menjadi panduan sswa disekolah-sekolah yang menggunakannya. Modul pendidikan perdamaian ini berisi 12 nilai perdamaian, yaitu :
1.     Menerima diri (proud to be me)
2.     Prasangka (no suspicion no prejudice)
3.     Perbedaan etnis (different culture but still friends)
4.     Perbedaan agama (different faiths but not enemies)
5.     Perbedaan jenis kelamin(male and female both are human)
6.     Perbedaan status ekonomi (rich but not pround, poor but not embarrassed)
7.     Perbedaan kelompok atau geng (gentlemen don’t need to be gangsters)
8.     Keanekaragaman (the beauty of diversity)
9.     Konflik (conflict can help you grow)
10.  Menolak kekerasan (use your brain not your brawn)
11.  Mengakui kesalahan (not too proud to admit mistakes)
12.  Memberi maaf (don’t be stingy when forgiving others)
Kurikulum damai ini diterapkan dengan mengenyampingkan perbedaan-perbedaan seperti ras, suku, agama, atau status sosial. Adapun cara yang dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan mempertemukan orang-orang yang berbeda latarbelakang ini dalam berbagai acara, seperti salah satunya adalah Kick the Hate yaitu turnamen futsal antar peace generation dari beberapa kota. Begitulah cara peace generation dalam membangun jembatan-jembatan kecil di berbagai bidang. Contoh lain, mereka juga menyatukan sekolah-sekolah yang berbeda untuk melakukan aktivitas menanam pohon bersama di lahan-lahan tandus dalam sebuah acara Plant the Peace. Taste the Peace adalah festival makanan dari berbagai budaya. Talk the Peace menghadirkan pembicara-pembicara inspiratif yang akan membagikan pengalaman mereka dalam aktivitas perdamaian. Read the Peace sebuah ajang mengapresiasi karya karya tulis yang mengangkat tema-tema perdamaian.
Irfan Amalee percaya bahwa berbagai acara Peace Generation jika dikelola secara professional akan berbuah manis dan bemanfaat sangat banyak. Dari The Peace Generation Project yang diawalinya tahun 2007, ia kini memimpin sendiri kelompok kecil di Mizan Pelangi yang membuat modul pelatihan perdamaian. Program ini mencakup pelatihan untuk pelatih, guru, dan fasilitator komunitas dari dalam dan luar negeri. Mereka kemudian melatih ratusan orang untuk dapat mendistribusikan modul-modul yang dibuat dari rumah ke rumah dan mempromosikannya ke berbagai sekolah terutama di daerah-daerah konflik.
Irfan sudah berhasil membangun jaringan berjumlah puluhan ribu pelajar agen perdamaian di seluruh Indonesia. Mereka kemudian membangun wirausaha komunitas seperti toko buku, pusat pelatihan dan klub buku yang tiap bulannya bisa beromzet puluhan juta rupiah. Impian Irfan tidak terlalu muluk, ia ingin melahirkan 100.000 anak muda di Indonesia yang menjadi komunitas penggerak perdamaian. 

By : Indah Permata

Sumber :
Gambar:
http://globalpeaceyouth.org/global-connection/info/speakers/


0 comments:

Posting Komentar